Suatu hari seekor anjing bernasib baik. Ia menemukan sepotong tulang penuh sumsum. Ia menggondolnya sambil mengamati ke sekeliling, jangan-jangan ada anjing lain yang ingin merebutnya.
Ia bermaksud membawa tulang itu ke taman yang tenang, supaya dapat menikmatinya dengan aman. Dalam perjalanannya, anjing itu harus menyeberangi sebuah sungai.
Ketika melewati jembatan, dia melihat bayangan dirinya di dalam air sungai yang jernih. Dia berpikir bahwa bayangan itu adalah seekor anjing lain, maka dia berhenti untuk melihat lebih teliti.
Dia perhatikan pada mulut anjing lain itu terdapat tulang lebih besar dari yang dibawanya. Amarahnya mulai muncul. Dia ingin sekali merebut tulang itu. Dia berpikir dengan menyalak keras dan buas, anjing itu akan melepaskan tulang yang digigitnya dan dia akan mendapatkannya.
Dia kemudian membuka mulutnya untuk menyalak. Ketika dia membuka mulut, tulang yang digigitnya jatuh ke dalam air. Sekarang anjing yang rakus itu melihat bahwa anjing di dalam air itu tidak membawa tulang lagi. Dia juga tidak. Dia sangat menyesal. Dia pulang ke rumahnya dengan wajah yang sedih.
Situasi seperti ini juga sering menimpa manusia. Orang ingin mengumpulkan barang-barang kebutuhan hidupnya sebanyak-banyaknya. Sampai-sampai lupa bahwa sudah ada sesuatu yang sangat berharga di tangannya yang mesti dipertahankan. Orang terus mencari dan mengumpulkan. Padahal tangannya sudah penuh dengan barang-barang kebutuhan hidupnya.
Ada pepatah yang berbunyi, “Ayam di tangan dilepaskan demi mendapatkan ayam yang masih di halaman rumah”. Hal yang lebih berharga itu tidak dijaga dengan baik. Bahkan dilepaskan untuk sesuatu yang tidak berharga. Ada seorang anak yang selalu menuntut orangtuanya untuk membelikan baju baru setiap bulan. Ia sudah punya baju yang harganya sangat mahal. Tetapi ia ingin baju yang baru lagi. Baju yang mahal ia lepaskan. Ia buang. Padahal baju itu sangat baik dan masih sangat layak dipakai. Orangtuanya mesti memenuhi kebutuhannya. Ia mengancam mereka, kalau tidak dibelikan baju yang baru. Ketika orangtuanya tidak punya uang untuk memenuhi kebutuhannya, anak itu benar-benar melaksanakan ancamannya. Ia gantung diri. Berakhirlah hidupnya yang sebenarnya masih panjang itu.
Ini contoh kerakusan yang membawa bencana bagi hidup manusia. Kerakusan itu ternyata dapat membuat hidup ini menjadi tragis. Padahal kita semestinya mempertahankan hidup ini. Hidup ini lebih berharga dari apa pun yang kita miliki. Hidup ini memiliki nilai yang sangat luhur, karena merupakan pemberian dari Tuhan sendiri.
Sebagai orang beriman, kita ingin agar hidup kita ditandai oleh usaha-usaha untuk menumbuhkan penghargaan terhadap hidup manusia. Kita ingin kritis dalam menilai apa yang kita butuhkan dalam hidup sehari-hari. Kita ingin agar kerakusan tidak menguasai hidup kita. Justru kita ingin agar kita menguasai diri kita. Dengan demikian kita dapat menjadi orang-orang yang berguna bagi sesama kita. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
127
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.