Suatu hari seorang anak membuang sampah di halaman rumah tetangganya. Sampah itu berupa kotoran sapi yang sangat banyak. Hal tersebut menimbulkan bau yang tidak sedap bagi tetangganya itu. Melihat hal itu, pemilik rumah itu sangat marah. Lantas ia menegur anak itu.
Namun anak itu tidak mau mendengarkan teguran itu. Ia bahkan berbalik marah terhadap pemilik rumah itu. Ia merasa diri tidak bersalah. Ia merasa benar. Terjadilah pertengkaran di antara mereka. Pemilik rumah itu merasa heran, mengapa anak itu merasa tidak bersalah. Padahal ia melakukan sesuatu yang tidak senonoh terhadap orang lain. Sampah, apalagi kotoran sapi, itu mesti dibuang pada tempatnya.
Melihat kondisi itu, pemilik rumah itu mengalah. Ia tidak mau bertengkar dengan orang yang tidak tahu sopan santun. Beberapa saat kemudian, anak itu pulang ke rumah dan melaporkan kejadian itu kepada kakaknya. Tanpa pikir panjang, kakaknya mendatangi tetangganya itu dengan sebuah golok. Tidak banyak bicara, ia langsung menghujamkan goloknya ke pemilik rumah itu. Untung, sang istri langsung menangkap golok itu. Kalau tidak, kepala suaminya yang kena bacok. Akibatnya, telapak tangannya hampir putus.
Sang kakak itu tidak merasa bersalah atas perbuatan kejinya. Pemilik rumah itu tidak mau menerima kejadian itu. Ia menuntut kakak dari anak itu bertanggung jawab atas perbuatannya. Setelah berrembug dengan alot, akhirnya, jalan damai dilakukan. Kakak dari anak itu mesti mengganti semua pengobatan atas luka yang diderita oleh istri pemilik rumah itu. Ia menyesali perbuatannya. Namun nasi telah menjadi bubur.
Kisah ini mau mengatakan kepada kita bahwa hati nurani manusia mulai mati terhadap sesama. Dalam kehidupan bersama semestinya orang saling menghargai dan menghormati. Apalagi dalam hidup bertetangga. Tetangga yang baik itu sebenarnya jauh lebih dekat daripada keluarga besar yang tinggal jauh dari kita. Tetangga yang saling peduli merupakan harta yang lebih berharga daripada harta benda yang kita miliki.
Karena itu, dibutuhkan suatu pendidikan hati nurani. Hati nurani yang baik dan bersih akan membantu manusia dalam membangun relasi dengan sesamanya. Orang yang memiliki hati nurani yang baik itu memberi kesempatan bagi sesamanya untuk selalu bertumbuh dan berkembang. Ia tidak akan merusak hubungan yang baik dengan sesamanya.
Sebagai orang beriman, kita ingin agar relasi kita dengan sesama terjalin dengan baik dan harmonis. Untuk itu, kita mesti mendidik hati nurani kita untuk peka terhadap orang-orang di sekitar kita. Dengan demikian, kita dapat menjadi sahabat bagi sesama kita. Kita dapat menjadi orang-orang yang membawa sukacita bagi sesama di sekitar kita. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
150
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.