Seorang bapak menceritakan pengalaman traumatisnya semasa kecil sampai remaja, yang menjadi bagian tak terlupakan dalam sejarah hidupnya. Dia anak seorang guru teladan yang menerapkan sistem hukuman fisik dalam mendidik anak-anaknya di rumah. Karena sebagian besar anak di keluarganya laki-laki, perilaku orangtuanya semakin terwajarkan secara jender.
Bapak itu berkata, “Dipukuli dan dibentak adalah makanan kami sehari-hari sejak umur lima tahun, bahkan sampai remaja lima belas tahun.” Matanya yang marah seketika berubah menjadi berair mata saat dia mencoba menceritakan satu per satu kisah hidupnya.
Karena itu, ketika dia membaca atau menonton televisi yang memberitakan kekerasan terhadap anak dan remaja, ingatan masa lalunya terngiang kembali di benaknya. Semua itu masih terekam sempurna dalam ingatan seseorang yang telah dewasa.
Di tengah budaya masyarakat tradisional Indonesia, hukuman fisik dianggap mujarab dalam mengarahkan tingkah laku anak yang tidak sesuai dengan etika kebiasaan masyarakatnya. Sejarah pendidikan kolonial ikut pula terlibat dalam membangun pola pendidikan tradisional yang melegitimasikan aksi hukuman fisik, berupa suatu tindakan yang menyakiti secara fisik, dengan tujuan untuk menekan perilaku negatif seorang anak. Melalui itu dipercaya bahwa perilaku positif anak saja yang akan terbentuk.
Pertanyaannya, mengapa mesti terjadi kekerasan dalam pendidikan? Menurut para ahli, terjadinya kekerasan yang dilakukan seorang pendidik itu karena ia sudah kehilangan akal. Akibatnya, emosinya yang bermain. Ia tidak kreatif dalam mengarahkan anak didiknya yang sulit diatur di dalam kelas. Alasan klasik yang dibuat adalah agar anak didik memiliki disiplin dalam hidup mereka.
Tentu kita semua prihatin menyaksikan, membaca atau mendengar kekerasan masih terjadi di sekolah. Semestinya lembaga pendidikan menjadi tempat untuk menanamkan nilai-nilai yang baik seperti mampu mengendalikan emosi, mampu mengampuni yang melakukan kesalahan.
Sebagai orang yang beriman, kita ingin belajar untuk mampu memaafkan mereka yang melakukan kesalahan orang lain seberapa besar dan banyak pun kesalahan itu dilakukan. Mengapa? Karena kita juga manusia yang lemah yang kadang-kadang atau sering melakukan kesalahan.
Orang yang mampu mengampuni kesalahan sesamanya adalah orang yang selalu mau melihat sisi positif orang lain. Sejelek-jeleknya orang, ia masih memilik hal baik dan positif yang mesti ditumbuhkembangkan dalam hidup ini.
Kita semua dipanggil untuk saling mengampuni ketika ada sesama yang bersalah. Semangat mengampuni mesti menjadi bagian hidup orang-orang yang beriman kepada Tuhan. Tuhan juga selalu mengampuni dosa dan kesalahan kita. Karena itu, kita juga mesti mengampuni sesama yang bersalah kepada kita.
Setiap hari ini kita menerima begitu banyak hal baik dari Tuhan dan sesama. Mari kita pelihara kebaikan itu dalam hidup kita. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
291
Bagikan
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.