Suatu hari seorang anak bertengkar dengan ayahnya. Soalnya sebenarnya sepele saja, yaitu ayahnya tidak mau membelikan permen kesukaannya. Anak itu memberontak. Anak itu bahkan mengancam ayahnya. Sang ayah pun tidak mau mengalah. Ia mengancam balik kepada anaknya itu.
Melihat anaknya tidak mau mengalah, sang ayah menampar pipinya kuat-kuat. Pipi anak itu merah. Ia langsung menangis. Segera ia berlari keluar rumah dan naik ke tebing karang yang terjal di tepi laut.
Dari atas tebing itu ia berteriak bahwa ia akan terjun dari atas tebing yang tinggi itu. Ia ingin mati tenggelam dalam laut itu. Orang-orang tahu bahwa ia tidak main-main dengan ucapannya.
Ayahnya berlari menyusul. Seluruh keluarga dan separuh desa ikut terlibat menyelamatkan anak yang nekat itu. Dengan berbagai upaya, akhirnya mereka berhasil menghentikan anak itu dan membawanya pulang ke rumah. Namun hubungan antara anak dan ayah itu tidak pernah pulih kembali. Meski ayahnya sudah meminta maaf atas tindakannya yang keras, anak itu tetap tidak mau memaafkan ayahnya. Anak itu tumbuh menjadi pria yang bermuka masam. Tampak ia tidak pernah merasa bahagia dalam hidupnya.
Pendidikan yang salah pada awal pertumbuhan seorang manusia sering membawa orang tumbuh menjadi pribadi yang mengalami banyak kesulitan dalam hidupnya. Apalagi ada luka batin yang begitu dalam dan lama bertahan dalam diri seseorang. Orang hidup, namun ada hal-hal yang terpaksa yang dijalaninya. Kondisi seperti ini seringkali menghancurkan kehidupan manusia.
Karena itu, suatu pendidikan yang mendahulukan kasih dan persaudaraan mesti menjadi hal yang utama dalam hidup manusia. Ada pepatah yang mengatakan siapa yang menabur angin akan menuai badai. Tetapi yang menabur kasih akan menuai kebaikan demi kebaikan.
Kiranya pepatah ini sangat tepat diterapkan dalam hidup manusia di jaman sekarang ini. Kini kita mengalami banyak kesulitan hidup karena berbagai kebobrokan yang terjadi. Ada KKN yang begitu menguasai hidup manusia menjadi penghalang bagi kehidupan bersama yang harmonis. Ada kecemburuan sosial yang begitu tinggi dalam kehidupan bersama. Ada juga kecurigaan di antara warga bangsa ini. Terjadi kesenjangan yang begitu dalam antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
Untuk itu, sebagai orang beriman, kita mesti berani mengubah cara pendidikan yang salah yang dilakukan oleh keluarga-keluarga. Cara-cara keras bukan lagi menjadi andalan dalam mendidik generasi penerus bangsa ini. Pendidikan mesti diarahkan pada pembatinan nilai-nilai cinta kasih dan persaudaraan. Mari kita coba mendidik generasi penerus bangsa ini dengan kasih yang mendalam. Kasih yang kita taburkan dalam diri mereka akan menghasilkan banyak kebaikan dalam hidup bersama. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
288
Bagikan
Melihat anaknya tidak mau mengalah, sang ayah menampar pipinya kuat-kuat. Pipi anak itu merah. Ia langsung menangis. Segera ia berlari keluar rumah dan naik ke tebing karang yang terjal di tepi laut.
Dari atas tebing itu ia berteriak bahwa ia akan terjun dari atas tebing yang tinggi itu. Ia ingin mati tenggelam dalam laut itu. Orang-orang tahu bahwa ia tidak main-main dengan ucapannya.
Ayahnya berlari menyusul. Seluruh keluarga dan separuh desa ikut terlibat menyelamatkan anak yang nekat itu. Dengan berbagai upaya, akhirnya mereka berhasil menghentikan anak itu dan membawanya pulang ke rumah. Namun hubungan antara anak dan ayah itu tidak pernah pulih kembali. Meski ayahnya sudah meminta maaf atas tindakannya yang keras, anak itu tetap tidak mau memaafkan ayahnya. Anak itu tumbuh menjadi pria yang bermuka masam. Tampak ia tidak pernah merasa bahagia dalam hidupnya.
Pendidikan yang salah pada awal pertumbuhan seorang manusia sering membawa orang tumbuh menjadi pribadi yang mengalami banyak kesulitan dalam hidupnya. Apalagi ada luka batin yang begitu dalam dan lama bertahan dalam diri seseorang. Orang hidup, namun ada hal-hal yang terpaksa yang dijalaninya. Kondisi seperti ini seringkali menghancurkan kehidupan manusia.
Karena itu, suatu pendidikan yang mendahulukan kasih dan persaudaraan mesti menjadi hal yang utama dalam hidup manusia. Ada pepatah yang mengatakan siapa yang menabur angin akan menuai badai. Tetapi yang menabur kasih akan menuai kebaikan demi kebaikan.
Kiranya pepatah ini sangat tepat diterapkan dalam hidup manusia di jaman sekarang ini. Kini kita mengalami banyak kesulitan hidup karena berbagai kebobrokan yang terjadi. Ada KKN yang begitu menguasai hidup manusia menjadi penghalang bagi kehidupan bersama yang harmonis. Ada kecemburuan sosial yang begitu tinggi dalam kehidupan bersama. Ada juga kecurigaan di antara warga bangsa ini. Terjadi kesenjangan yang begitu dalam antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
Untuk itu, sebagai orang beriman, kita mesti berani mengubah cara pendidikan yang salah yang dilakukan oleh keluarga-keluarga. Cara-cara keras bukan lagi menjadi andalan dalam mendidik generasi penerus bangsa ini. Pendidikan mesti diarahkan pada pembatinan nilai-nilai cinta kasih dan persaudaraan. Mari kita coba mendidik generasi penerus bangsa ini dengan kasih yang mendalam. Kasih yang kita taburkan dalam diri mereka akan menghasilkan banyak kebaikan dalam hidup bersama. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
288
Bagikan
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.