Meningkatkan Kepedulian terhadap Sesama
Namanya Muhammad Wildan Rabbani Kurniawan. Usianya baru 17 tahun. Maklum ia baru selesai sekolah di SMA. Wildan meraih nilai terbaik untuk hasil ujian nasional tingkat SMA se-Jawa Timur 2010 lalu. Wildan meraih nilai total 57,20 dari enam mata pelajaran, yakni Bahasa Indonesia (9,00), Bahasa Inggris (9,20), Matematika (10,00), Fisika (9,75), Kimia (9,75), dan Biologi (9,50). Prestasi bagus itu tidak hanya membanggakan dan membuatnya bahagia, tetapi sekaligus waswas. Begitu selesai ujian, Wildan menunggu hasil pengumuman lewat jalur prestasi dari Universitas Indonesia, Jakarta. Pilihan pertamanya Fakultas Kedokteran dan kedua Teknik Metalurgi. Kalaupun ia diterima, rupanya juga tak membuatnya senang, sebab biaya mendaftar Rp 250.000 pun merupakan dana patungan teman-temannya. Semula ia tak yakin bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi selepas SMA. Orangtuanya kini kerja serabutan setelah usaha kapur tulis lesu sejak sekolah lebih banyak menggunakan whiteboard dan spidol. Wildan sangat bersyukur atas pencapaiannya. Remaja asal Dusun Kebondalem, Desa Mojopurowetan, Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik, ini tak menyangka bisa meraih nilai tertinggi. Tentang hasil belajarnya, Wildan berkata, “Sepulang sekolah, kalau tidak lelah, saya sempatkan mengulang pelajaran sekitar satu jam.” Secercah harapan Wildan pun muncul, ketika ada dua pengusaha Jakarta dan Gresik yang bersedia membiayai kuliah Wildan sampai tuntas.
Sahabat, mendengar kisah di atas kita bertanya pada diri kita, adilkah dunia ini terhadap kehidupan manusia? Ada begitu banyak anak Indonesia yang meraih prestasi tinggi dalam pendidikannya. Namun mereka terbentur oleh biaya yang begitu mahal. Bagaimana mereka dapat menjadi anak-anak yang memiliki pendidikan tinggi? Bagaimana mereka memiliki ilmu dan ketrampilan yang tinggi?
Kisah Wildan sebenarnya bukan baru ini terjadi. Ada begitu banyak anak bangsa yang belum mendapatkan pendidikan yang memadai. Alasannya tetap sama, yaitu biaya pendidikan bagi mereka. Saat kampanye pilkada, banyak calon kepala daerah berjanji untuk meningkatkan pendidikan bagi warganya. Namun apa yang terjadi kemudian adalah janji-janji kosong belaka. Nyatanya masih banyak anak bangsa yang putus sekolah. Masih ada begitu banyak anak bangsa yang buta huruf. Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Sebagai orang beriman, kita mesti meningkatkan kepedulian kita terhadap pendidikan anak-anak bangsa. Uluran tangan kita dapat membantu sesama yang membutuhkan. Investasi yang kita berikan bagi sesama akan membahagiakan mereka. Masa depan anak-anak bangsa ini ada di tangan kita. Demikian pula masa depan bangsa ini ada di tangan kita semua. Karena itu, pendidikan anak-anak bangsa ini mesti selalu diperhatikan. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
Namanya Muhammad Wildan Rabbani Kurniawan. Usianya baru 17 tahun. Maklum ia baru selesai sekolah di SMA. Wildan meraih nilai terbaik untuk hasil ujian nasional tingkat SMA se-Jawa Timur 2010 lalu. Wildan meraih nilai total 57,20 dari enam mata pelajaran, yakni Bahasa Indonesia (9,00), Bahasa Inggris (9,20), Matematika (10,00), Fisika (9,75), Kimia (9,75), dan Biologi (9,50). Prestasi bagus itu tidak hanya membanggakan dan membuatnya bahagia, tetapi sekaligus waswas. Begitu selesai ujian, Wildan menunggu hasil pengumuman lewat jalur prestasi dari Universitas Indonesia, Jakarta. Pilihan pertamanya Fakultas Kedokteran dan kedua Teknik Metalurgi. Kalaupun ia diterima, rupanya juga tak membuatnya senang, sebab biaya mendaftar Rp 250.000 pun merupakan dana patungan teman-temannya. Semula ia tak yakin bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi selepas SMA. Orangtuanya kini kerja serabutan setelah usaha kapur tulis lesu sejak sekolah lebih banyak menggunakan whiteboard dan spidol. Wildan sangat bersyukur atas pencapaiannya. Remaja asal Dusun Kebondalem, Desa Mojopurowetan, Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik, ini tak menyangka bisa meraih nilai tertinggi. Tentang hasil belajarnya, Wildan berkata, “Sepulang sekolah, kalau tidak lelah, saya sempatkan mengulang pelajaran sekitar satu jam.” Secercah harapan Wildan pun muncul, ketika ada dua pengusaha Jakarta dan Gresik yang bersedia membiayai kuliah Wildan sampai tuntas.
Sahabat, mendengar kisah di atas kita bertanya pada diri kita, adilkah dunia ini terhadap kehidupan manusia? Ada begitu banyak anak Indonesia yang meraih prestasi tinggi dalam pendidikannya. Namun mereka terbentur oleh biaya yang begitu mahal. Bagaimana mereka dapat menjadi anak-anak yang memiliki pendidikan tinggi? Bagaimana mereka memiliki ilmu dan ketrampilan yang tinggi?
Kisah Wildan sebenarnya bukan baru ini terjadi. Ada begitu banyak anak bangsa yang belum mendapatkan pendidikan yang memadai. Alasannya tetap sama, yaitu biaya pendidikan bagi mereka. Saat kampanye pilkada, banyak calon kepala daerah berjanji untuk meningkatkan pendidikan bagi warganya. Namun apa yang terjadi kemudian adalah janji-janji kosong belaka. Nyatanya masih banyak anak bangsa yang putus sekolah. Masih ada begitu banyak anak bangsa yang buta huruf. Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Sebagai orang beriman, kita mesti meningkatkan kepedulian kita terhadap pendidikan anak-anak bangsa. Uluran tangan kita dapat membantu sesama yang membutuhkan. Investasi yang kita berikan bagi sesama akan membahagiakan mereka. Masa depan anak-anak bangsa ini ada di tangan kita. Demikian pula masa depan bangsa ini ada di tangan kita semua. Karena itu, pendidikan anak-anak bangsa ini mesti selalu diperhatikan. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.