Ada seorang janda yang ditinggal pergi oleh suaminya. Mereka bertengkar hebat sebelum suaminya memutuskan untuk pergi dari rumah. Bertahun-tahun tidak ada kabar berita tentang sang suami. Janda itu hidup dengan tiga orang anaknya. Ia membesarkan dan mendidik anak-anaknya seorang diri.
Suatu hari, setelah 15 tahun kepergian suaminya, janda itu mendengar kabar tentang suaminya yang jatuh miskin. Suaminya menjadi seorang gelandangan. Untuk mempertahankan hidupnya, ia mesti mengemis di perempatan jalan di suatu kota. Janda itu jatuh kasihan. Ia memutuskan untuk berangkat ke kota itu mencari suaminya di saat musim libur sekolah tiba. Ia membawa serta ketiga anaknya.
Dari satu perempatan kota ke perempatan kota yang lain, ia mencari suaminya. Berhari-hari mereka mencari. Namun ternyata sulit mereka temukan. Mereka pulang kembali ke kota mereka. Namun janda itu tidak bisa tenang dalam hidupnya. Ia selalu merasa bersalah. Di saat bersamaan, cintanya pada sang suami kembali tumbuh, bersemi.
Ia berkata kepada ketiga anaknya, “Mama akan terus mencari papa kalian. Mama tidak mau dia menderita.”
Musim liburan berikutnya, ia mengajak ketiga buah hatinya untuk kembali mencari sang suami. Kali ini mereka mujur. Mereka menemukan suaminya sedang mengemis di perempatan jalan. Mereka menemuinya dan mengajaknya pulang ke rumah. Mereka memberinya tempat terhormat di dalam keluarga.
Ketika salah seorang anaknya bertanya, janda itu berkata, “Mama lakukan semua ini karena mama masih mencintai papamu. Mulai sekarang kita semua tidak boleh lagi menyakiti hati papamu. Dia adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup kita.”
Sahabat, Tuhan adalah kasih. Tuhan yang adalah kasih itu selalu peduli terhadap kehidupan manusia. Yang dikehendaki Tuhan adalah keselamatan bagi semua orang. Karena itu, Tuhan tidak pernah memandang orang menurut suku, golongan, ras, atau agamanya. Setiap orang dikenal Tuhan secara pribadi. Setiap orang mendapatkan kasih yang sama.
Karena itu, Tuhan ingin agar kita mengarahkan seluruh hidup kita kepada kasih. Bukan kepada egoisme diri sendiri. Atau cinta akan kelompok, suku, golongan, ras atau agama sendiri. Untuk itu, manusia mesti meninggalkan kefasikkan, tipu daya hanya untuk keuntungan pribadi.
Selanjutnya, orang beriman itu mesti hidup adil dan benar di hadapan Tuhan. Kalau dua hal ini tidak ada, berarti orang hanya mengandalkan cinta dirinya. Orang tidak mengandalkan kasih yang universal yang telah diberikan oleh Tuhan. Orang kemudian memilih untuk tidak bersikap adil dan benar. Yang dipilih adalah perbuatan yang kurang senonoh yang tidak berkenan kepada Tuhan.
Bagi orang beriman, kekuatan hidup ini terletak pada saling mengasihi. Dalam situasi mengasihi itu, orang rela memberi hidup bagi yang lain. Dalam saling mengasihi itu, orang akan berani berkorban bagi sesamanya. Orang berani membagi waktunya bagi kebahagiaan sesamanya. Mari kita hidup dalam kasih Tuhan. Dengan demikian, kita semakin memiliki sukacita dan damai. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
654
Suatu hari, setelah 15 tahun kepergian suaminya, janda itu mendengar kabar tentang suaminya yang jatuh miskin. Suaminya menjadi seorang gelandangan. Untuk mempertahankan hidupnya, ia mesti mengemis di perempatan jalan di suatu kota. Janda itu jatuh kasihan. Ia memutuskan untuk berangkat ke kota itu mencari suaminya di saat musim libur sekolah tiba. Ia membawa serta ketiga anaknya.
Dari satu perempatan kota ke perempatan kota yang lain, ia mencari suaminya. Berhari-hari mereka mencari. Namun ternyata sulit mereka temukan. Mereka pulang kembali ke kota mereka. Namun janda itu tidak bisa tenang dalam hidupnya. Ia selalu merasa bersalah. Di saat bersamaan, cintanya pada sang suami kembali tumbuh, bersemi.
Ia berkata kepada ketiga anaknya, “Mama akan terus mencari papa kalian. Mama tidak mau dia menderita.”
Musim liburan berikutnya, ia mengajak ketiga buah hatinya untuk kembali mencari sang suami. Kali ini mereka mujur. Mereka menemukan suaminya sedang mengemis di perempatan jalan. Mereka menemuinya dan mengajaknya pulang ke rumah. Mereka memberinya tempat terhormat di dalam keluarga.
Ketika salah seorang anaknya bertanya, janda itu berkata, “Mama lakukan semua ini karena mama masih mencintai papamu. Mulai sekarang kita semua tidak boleh lagi menyakiti hati papamu. Dia adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup kita.”
Sahabat, Tuhan adalah kasih. Tuhan yang adalah kasih itu selalu peduli terhadap kehidupan manusia. Yang dikehendaki Tuhan adalah keselamatan bagi semua orang. Karena itu, Tuhan tidak pernah memandang orang menurut suku, golongan, ras, atau agamanya. Setiap orang dikenal Tuhan secara pribadi. Setiap orang mendapatkan kasih yang sama.
Karena itu, Tuhan ingin agar kita mengarahkan seluruh hidup kita kepada kasih. Bukan kepada egoisme diri sendiri. Atau cinta akan kelompok, suku, golongan, ras atau agama sendiri. Untuk itu, manusia mesti meninggalkan kefasikkan, tipu daya hanya untuk keuntungan pribadi.
Selanjutnya, orang beriman itu mesti hidup adil dan benar di hadapan Tuhan. Kalau dua hal ini tidak ada, berarti orang hanya mengandalkan cinta dirinya. Orang tidak mengandalkan kasih yang universal yang telah diberikan oleh Tuhan. Orang kemudian memilih untuk tidak bersikap adil dan benar. Yang dipilih adalah perbuatan yang kurang senonoh yang tidak berkenan kepada Tuhan.
Bagi orang beriman, kekuatan hidup ini terletak pada saling mengasihi. Dalam situasi mengasihi itu, orang rela memberi hidup bagi yang lain. Dalam saling mengasihi itu, orang akan berani berkorban bagi sesamanya. Orang berani membagi waktunya bagi kebahagiaan sesamanya. Mari kita hidup dalam kasih Tuhan. Dengan demikian, kita semakin memiliki sukacita dan damai. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
654
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.