Pages

28 April 2011

Usaha Melestarikan Budaya Asli


Beberapa hari yang lalu (awal Februari 2010) diberitakan bahwa kelestarian rumah adat Bari di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, terancam. Sejak tahun 2008, rumah-rumah panggung itu menjadi buruan kolektor yang bersedia membeli dengan harga tinggi.

Penjualan rumah Bari marak terjadi di Kecamatan Kota Agung dan di daerah perbatasan Lahat dengan Kota Pagar Alam. Berdasarkan informasi dari warga, jumlah rumah Bari yang terjual di wilayah itu mencapai puluhan. Rumah Bari yang menjadi incaran kolektor umumnya berusia lebih dari 50 tahun.

Biasanya para kolektor dari Jakarta itu membeli rumah tersebut untuk dibawa ke Jakarta. Kalau sudah terjadi kesepakatan harga, rumah tersebut dibongkar lalu dibawa ke Jakarta dengan truck. Harga rumah Bari sekitar Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar. Penentuan harga bergantung pada kondisi rumah, usia, dan detail ukiran dinding. Sulit mencari bekas lokasi rumah adat bari di Kota Agung karena fondasinya pun diangkut.

Soalnya adalah mengapa rumah Bari itu mesti dijual? Salah satu sebabnya adalah persoalan ekonomi yang dihadapi oleh warga. Karena itu, ketika ada tawaran yang menggiurkan dari para kolektor, mereka pun melepas rumah mereka. Nurhayati, warga Kota Agung, mengatakan, warga terpaksa menjual rumah Bari karena perlu uang untuk biaya hidup. Mayoritas warga bekerja sebagai petani kopi dan karet yang penghasilannya tidak menentu, karena tergantung dari cuaca serta pergerakan harga pasar.

Sahabat, bagi masyarakat Sumatera Selatan, rumah Bari adalah identitas budaya yang mesti dijaga dan dilestarikan. Mendengar nama Sumatera Selatan, pikiran banyak suku di negeri ini tertuju kepada rumah Bari. Rumah yang terbuat dari kayu unglen atau merbau yang kuat dan tahan air ini telah menampilkan suatu sisi budaya Sumatera Selatan.

Karena itu, kehadiran rumah Bari bukan sekadar pajangan. Rumah Bari membawa identitas budaya asli orang Sumatera Selatan. Siapa lagi yang mesti menjaga dan melestarikannya, kalau bukan orang Sumatera Selatan sendiri?

Kita hidup dalam suatu dunia yang mendesakkan modernisasi di segala bidang kehidupan. Namun sering kali modernisasi itu membawa banyak dampak negatif terhadap kehidupan bersama. Dalam keseharian hidup, misalnya, masyarakat menjadi semakin individualis dengan hadirnya rumah-rumah modern dan megah. Rumah-rumah tersebut dikelilingi pagar tembok menjulang tinggi yang membentengi manusia dari sesamanya.

Karena itu, melestarikan kehadiran rumah Bari berarti kita terus-menerus membuka diri bagi orang lain. Kita tidak membentengi diri terhadap sesama. Hadirnya rumah Bari mau mengatakan kepada kita bahwa masyarakat kita bukan masyarakat yang tertutup. Namun masyarakat yang senantiasa membuka diri untuk bersahabat dengan siapa saja. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

Baca juga di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

667

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.