Bayi berusia lima bulan bernama Ferry itu mesti terkapar di Rumah Sakit Koja, Jakarta Utara, hingga pertengahan Juni 2010 lalu. Kedua tangan dan kakinya patah. Ia bukan jatuh dari ketinggian. Ia mengalami penderitaan itu bukan karena kenakalannya sebagai seorang anak. Namun ia mengalami penderitaan yang parah itu, karena disiksa oleh ibu kandungnya sendiri. Usai menganiaya sang anak, sang ibu kandung ditangkap polisi. Sedangkan sang ayah belum ditemukan. Menurut keterangan, sudah lama sang ayah meninggalkan Ferry dan kakaknya serta sang ibu.
Pertanyaannya, mengapa seorang ibu tega menganiaya anak kandungnya sendiri? Mengapa tangan yang biasa digunakan untuk membelai sang buah hati itu mesti digunakan untuk membanting sang anak? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tentu bermacam-macam. Namun satu hal yang pasti adalah penyiksaan itu sebagai ungkapan penolakan atas kehadiran sang anak.
Bisa saja kehadiran sang anak dianggap sebagai pengganggu. Ia bisa dianggap sebagai beban dalam kehidupan. Karena itu, lebih baik dienyahkan melalui penyiksaan itu. Dalam kondisi kalangkabut, orang bisa melakukan apa saja terhadap kehidupan. Bahkan orang nekat mengakhiri kehidupan sesamanya.
Menurut pihak Komnas Perlindungan Anak, dampak yang akan diderita oleh Ferry tidak hanya dari segi fisik. Namun dampak yang lebih besar adalah dampak psikologis. Ferry yang masih balita itu hanya bisa menahan rasa sakit tanpa bisa melawan.
Sahabat, tentu saja banyak orang akan merasa marah mendengar dan menyaksikan peristiwa kejam dari seorang ibu kandung ini. Tidak sepantasnya seorang ibu yang telah melahirkan anaknya kemudian menyiksannya habis-habisan. Hal ini bisa terjadi oleh suatu kebiadaban. Orang yang biadab itu orang yang tidak mengindahkan norma-norma kehidupan. Orang yang tidak ambil pusing terhadap kehidupan sesamanya.
Karena itu, kisah tragis Ferry tadi mesti menjadi peringatan bagi manusia. Kehidupan harus terus-menerus dipertahankan dan diperjuangkan. Apalagi oleh orang-orang yang terdekat seperti sang ibu dan anak itu. Mengapa kehidupan mesti dipertahankan dan diperjuangkan? Karena kehidupan itu berharga. Kehidupan itu memiliki nilai-nilai luhur yang mesti selalu dijunjung tinggi. Kehidupan itu hak setiap manusia. Setiap orang yang dilahirkan memiliki hak atas kehidupan yang sama dengan yang lain.
Kisah penyiksaan terhadap bayi berusia lima bulan tadi menunjukkan betapa kehidupan dianggap sepele. Kehidupan seolah tidak memiliki nilai-nilai luhur sedikit pun. Kehidupan seolah tidak memiliki makna. Karena itu, orang boleh menghancurkannya. Tentu saja sikap seperti ini sangat disayangkan. Orang beriman mesti selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan.
Karena itu, orang mesti memiliki kesadaran bahwa Tuhan yang telah memberikan kehidupan kepada manusia ingin agar kehidupan ini diperjuangkan. Orang yang menganggap remeh terhadap kehidupan dan kemudian menyiksanya itu orang yang tidak beriman. Imannya hanya sampai di bibir saja, tidak sampai merasuk ke dalam seluruh hidupnya. Mari kita terus-menerus memperjuangkan kehidupan. Dengan demikian, kita dapat menjadi manusia yang sungguh-sungguh beriman. Hidup ini akan menjadi semakin indah. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
774
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.