Suatu hari ada seorang pedagang berjalan bersama kudanya pulang dari pasar. Barang dagangan dimuat oleh kuda jantan itu. Barang-barang itu akan dijual kembali di desa, tempat pedagang itu tinggal
Di tengah jalan, di daerah yang sepi dan jauh dari desa-desa lain, tampaklah dari kejauhan segerombolan perampok bergerak maju mendekatinya. Melihat pertanda yang membahayakan itu, dengan gugup pedagang itu berkata kepada kudanya, “Ayo, kita lari ke desa yang paling dekat di depan kita. Jika tidak, perampok-perampok itu akan menyiksa kita dan menjarah barang dagangan kita.”
Kuda itu tidak mempedulikan kata-kata tuannya. Tetapi kemudian ia menjawab, “Maafkanlah hambamu ini, tuan. Mengapa kita harus lari tunggang langgang menjauhi perampok-perampok itu?”
Pedagang itu semakin panik. Lantas ia berkata dengan nada keras, “Ah, kamu tolol. Jika kita tidak lari, kita pasti akan ditangkap oleh perampok-perampok itu. Aku akan mereka lukai dan barang dagangan kita akan dirampas. Sedangkan kamu sendiri akan mereka bawa.”
Kuda itu malah berhenti. Ia sulit sekali ditarik oleh pedagang itu. Kemudian ia berkata, “Jadi masalahnya hanya soal ganti tuan? Selama bebannya masih sama dan harus hamba pikul di punggung hamba, tak soal bagi hamba siapa orang yang menjadi tuan hamba."
Pemilik kuda itu tertegun sejenak lantas mulai lari menjauhi para perampok. Sementara kuda itu berlari di belakangnya dengan santai.
Begitu banyak pemimpin sudah yang kita miliki dalam hidup kita. Ada pemimpin pemerintah dari ketua RT hingga presiden. Ada juga para pemimpin kelompok-kelompok tertentu yang juga silih berganti memangku jabatan. Pertanyaannya, apakah para pemimpin itu sungguh-sungguh membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat atau para anggotanya?
Menjelang pemilukada atau pemilu legislatif yang lalu di berbagai daerah di Indonesia kita mendengar janji-janji. Misalnya, kalau nanti terpilih menjadi bupati atau walikota atau gubernur, ia akan menciptakan ribuan lapangan kerja. Kesejahteraan masyarakat akan ditingkatkan. Macam-macam janji dilontarkan kepada para calon pemilih.
Tetapi apakah janji-janji itu ditepati? Kita tidak menyangsikan janji-janji itu. Tetapi adalah fakta bahwa kehidupan ekonomi masyarakat kita tidak semakin membaik. Ada BLT dari pemerintah untuk rakyat miskin. Tetapi utang negeri ini semakin menggunung. Seorang ahli ekonomi di negeri ini mengatakan bahwa selama emopat tahun terakhir ini utang luar negeri kita bertambah empat ratus triliun. Ini siapa yang harus bayar? Buat apa utang sebesar itu?
Hal yang jelas adalah semakin banyak orang yang merasakan bahwa hidup ini semakin sulit. Ada orang yang hanya bisa makan kenyang satu hari sekali. Meski sudah ganti pemimpin, tetapi bebannya tetap sama. Bahkan beban hidup masyarakat semakin berat. Lalu di mana janji-janji itu?
Sebagai orang beriman, kita ingin agar kita berani menepati janji yang kita buat. Ingat janji apa pun yang kita buat itu merupakan utang yang mesti kita bayar. Karena itu, mari kita belajar untuk menepati janji-janji kita. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal
177
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.