Pages

19 Maret 2011

Menyerahkan Kehendak Diri kepada Tuhan



Ada seorang perempuan yang sudah lama menikah. Ia sangat berbahagia hidup dengan suaminya. Ia selalu berusaha melakukan yang terbaik bagi suaminya. Ia tetap mengandalkan cinta dan kesetiaannya kepada suaminya. Baginya, sebuah perkawinan mesti selalu dilandasi oleh kasih dan kesetiaan.

Ia semakin berbahagia ketika menyaksikan suaminya pun tetap setia dan mencintainya. Soal yang muncul dalam dirinya adalah sudah sekian lama mereka menikah, namun ia belum memberikan keturunan bagi suaminya. Padahal kasih dan kesetiaan mereka tidak kurang-kurang. Usaha-usaha untuk mendapatkan anak pun telah mereka lakukan sebaik-baiknya.

Karena itu, suatu hari ia berdoa kepada Tuhan. Ia memohon agar diberi seorang anak yang menjadi buah cinta dirinya dengan suaminya. Ia berkata, ”Tuhan, berikanlah kami seorang anak yang dapat membuat perkawinan kami semakin bahagia. Biarlah anak itu akan menjadi buah cinta sejati kami. Aku menyerahkan seluruh hidupku kepadaMu.”

Rupanya Tuhan mendengarkan doa yang penuh harap itu. Enam bulan kemudian ia hamil. Ia sangat bergembira. Ia berusaha untuk terus-menerus memupuk suasana gembira dalam dirinya dan keluarganya. Suaminya pun ikut bergembira mendengar peristiwa kehamilan istrinya. Ia pun berusaha untuk semakin menyayanginya. Ia berusaha untuk menggembirakannya.

Sahabat, doa orang yang beriman yang penuh harapan dipanjatkan kepada Tuhan ternyata didengarkan. Tuhan masih hidup. Tuhan masih mendengarkan keluh kesah milik kepunyaannya. Tuhan tidak melupakan umatNya yang berdoa kepadaNya. Harapan seseorang yang merindukan kebahagiaan dikabulkan oleh Tuhan.

Pernahkah kita berdoa dengan penuh iman dan harapan kepada Tuhan? Atau kita terlalu memaksakan kehendak kita kepada Tuhan dalam doa-doa kita? Mungkin hal kedua ini yang sering kita lakukan. Ketika kita mengalami duka nestapa dalam hidup ini, kita sering memaksa Tuhan untuk menyingkirkan duka nestapa itu. Padahal mungkin duka nestapa itu memiliki hikmah bagi hidup kita. Mungkin duka nestapa itu menjadi suatu kesempatan bagi kita untuk belajar menyerahkan hidup kita dengan lebih sungguh-sungguh kepada Tuhan.

Kisah ibu tadi mau mengatakan kepada kita bahwa doa yang dikabulkan adalah doa yang penuh iman menyerahkan seluruh keinginan kepada Tuhan. Biar Tuhan saja yang mengabulkan doa-doanya. Ia tidak memaksakan kehendaknya agar Tuhan mengabulkan doanya. Ia menyerahkan seluruh kehendak dirinya itu kepada Tuhan. Soal dikabulkan atau tidak doanya itu, itu bukan urusannya. Itu urusan Tuhan.

Karena itu, mari kita menyerahkan doa-doa kita kepada Tuhan. Kita biarkan Tuhan sendiri yang mengabulkan doa-doa kita. Kita tidak perlu memaksa Tuhan. Dengan demikian, hidup kita berkenan kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


635

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.