Sudah bertahun-tahun seorang gadis jatuh hati terhadap seorang pemuda di kampungnya. Namun tampaknya ia hanya bertepuk sebelah tangan. Pemuda itu tidak menanggapi cinta gadis itu. Hal itu membuat gadis itu patah semangat.
Setiap kali ada pemuda lain yang mendekatinya, ia selalu menolak. Ia berkata kepada mereka, “Saya sudah ada yang punya.”
Padahal ia masih tetap menaruh hati pada pemuda yang tidak mencintainya itu. Ia masih tetap mencintai pemuda itu bahkan pemuda itu telah menikahi seorang gadis dari kampung yang lain. Tentang hal ini ia berkata, “Saya memiliki cinta yang sejati yang tidak akan padam. Cinta yang sejati tidak akan berhenti saat menghadapi rintangan demi rintangan.”
Namun suatu hari gadis itu pun sadar bahwa ia tidak bisa mencintai orang yang tidak mencintainya. Cinta yang ia miliki itu hanyalah cinta semu. Sebuah cinta yang tidak berbuah apa-apa, karena orang yang dia cintai itu sama sekali tidak mencintainya. Kesadaran itu membuat ia membuka hatinya untuk cinta seorang pemuda dari kampung tetangganya. Cinta mereka saling bersahut-sahutan. Mereka merajut cinta itu. Ternyata itulah cinta sejati yang dia miliki.
Ia pun mengalami sukacita dan damai dalam hidupnya. Ia pun boleh mengekspresikan daya cinta yang dimilikinya untuk membangun sebuah keluarga yang bahagia. Anak-anak yang lahir dari perkawinannya itu merupakan buah dari cinta yang sejati itu.
Sahabat, banyak orang merasa bahwa mereka memiliki cinta yang sejati dalam hidup ini. Banyak orang bertindak seolah-olah cinta yang mereka berikan itu cinta yang tulus dan murni. Namun kalau orang sungguh-sungguh menukik ke dalam batinnya, orang akan menemukan bahwa sebenarnya cinta mereka hanyalah semu. Cinta yang tidak berbuah, karena lengketnya egoisme dalam cinta itu.
Orang mencintai sesamanya untuk memilikinya. Bukan demi kebahagiaan orang yang dicintainya itu. Atau ada orang yang merasa putus asa dalam hidupnya, karena cintanya tidak bergema. Ia berkata, “Saya tidak menemukan cinta dalam hidup ini. Untuk apa saya hidup, kalau tidak ada cinta?”
Karena itu, orang yang memiliki cinta yang sejati itu tidak mengunci cinta dalam hidupnya. Cara tercepat untuk mendapatkan cinta adalah dengan memberinya. Sebaliknya, cara tercepat untuk kehilangan cinta adalah dengan menggenggamnya seerat-eratnya untuk diri sendiri. Orang yang mencintai itu orang yang berani berkorban bagi sesamanya. Orang yang berani membuka hidupnya untuk sesamanya.
Sebagai orang beriman, kita mesti berani membuka hati kita untuk sesama kita. Artinya, kita mau memberikan hidup kita untuk digunakan oleh orang lain. Kita tidak ingin hidup ini menjadi milik kita sendiri. Dengan demikian, hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk bersukacita, karena kita memiliki cinta yang sejati. Hidup ini memiliki makna yang mendalam bagi sesama. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
626
Juga dapat dibaca di:
http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/
http://forumm.wgaul.com/showthread.php?t=85079&page=100
http://www.facebook.com/katolik.webgaul.net
Setiap kali ada pemuda lain yang mendekatinya, ia selalu menolak. Ia berkata kepada mereka, “Saya sudah ada yang punya.”
Padahal ia masih tetap menaruh hati pada pemuda yang tidak mencintainya itu. Ia masih tetap mencintai pemuda itu bahkan pemuda itu telah menikahi seorang gadis dari kampung yang lain. Tentang hal ini ia berkata, “Saya memiliki cinta yang sejati yang tidak akan padam. Cinta yang sejati tidak akan berhenti saat menghadapi rintangan demi rintangan.”
Namun suatu hari gadis itu pun sadar bahwa ia tidak bisa mencintai orang yang tidak mencintainya. Cinta yang ia miliki itu hanyalah cinta semu. Sebuah cinta yang tidak berbuah apa-apa, karena orang yang dia cintai itu sama sekali tidak mencintainya. Kesadaran itu membuat ia membuka hatinya untuk cinta seorang pemuda dari kampung tetangganya. Cinta mereka saling bersahut-sahutan. Mereka merajut cinta itu. Ternyata itulah cinta sejati yang dia miliki.
Ia pun mengalami sukacita dan damai dalam hidupnya. Ia pun boleh mengekspresikan daya cinta yang dimilikinya untuk membangun sebuah keluarga yang bahagia. Anak-anak yang lahir dari perkawinannya itu merupakan buah dari cinta yang sejati itu.
Sahabat, banyak orang merasa bahwa mereka memiliki cinta yang sejati dalam hidup ini. Banyak orang bertindak seolah-olah cinta yang mereka berikan itu cinta yang tulus dan murni. Namun kalau orang sungguh-sungguh menukik ke dalam batinnya, orang akan menemukan bahwa sebenarnya cinta mereka hanyalah semu. Cinta yang tidak berbuah, karena lengketnya egoisme dalam cinta itu.
Orang mencintai sesamanya untuk memilikinya. Bukan demi kebahagiaan orang yang dicintainya itu. Atau ada orang yang merasa putus asa dalam hidupnya, karena cintanya tidak bergema. Ia berkata, “Saya tidak menemukan cinta dalam hidup ini. Untuk apa saya hidup, kalau tidak ada cinta?”
Karena itu, orang yang memiliki cinta yang sejati itu tidak mengunci cinta dalam hidupnya. Cara tercepat untuk mendapatkan cinta adalah dengan memberinya. Sebaliknya, cara tercepat untuk kehilangan cinta adalah dengan menggenggamnya seerat-eratnya untuk diri sendiri. Orang yang mencintai itu orang yang berani berkorban bagi sesamanya. Orang yang berani membuka hidupnya untuk sesamanya.
Sebagai orang beriman, kita mesti berani membuka hati kita untuk sesama kita. Artinya, kita mau memberikan hidup kita untuk digunakan oleh orang lain. Kita tidak ingin hidup ini menjadi milik kita sendiri. Dengan demikian, hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk bersukacita, karena kita memiliki cinta yang sejati. Hidup ini memiliki makna yang mendalam bagi sesama. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
626
Juga dapat dibaca di:
http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/
http://forumm.wgaul.com/showthread.php?t=85079&page=100
http://www.facebook.com/katolik.webgaul.net
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.