Pages

24 Desember 2009

Memberi Rejeki untuk yang miskin



Waktu saya masih berada di Yogyakarta, saya sering tertegun menatap serombongan orang yang selalu memarkir diri di depan pintu rumah kami. Setiap hari Minggu mereka mendatangi rumah kami, seolah-olah mereka mesti mendapatkan jatah dari tangan kami. Guratan-guratan yang melintasi wajah-wajah mereka adalah sebuah fakta perjuangan. Setiap hari mereka bergumul dengan kerasnya kehidupan ini.

Saya mendengar tangis anak-anak yang mengharukan hati. Mereka, yang seharusnya bermain sorak-sorai bersama teman-temannya, mesti ikut berpartisipasi mengumpulkan sejumlah uang bagi berlanjutnya kehidupan. Terpaan hujan dan terik matahari bukan lagi halangan bagi mereka. Mereka digendong dalam jarik yang kumal berbau lantaran tiada sepotong sabun pun buat mencuci. Mata hatiku terbuka, ketika suara tangis anak-anak itu semakin nyaring di telingaku.

“Tetapi mengapa semua ini mesti menimpa mereka? Anak-anak itu kan tidak berdosa?” Saya bertanya dalam hati, sementara perasaan kemanusiaanku terus menggetarkan sukma.

Angan saya melayang jauh ke masa-masa silamku, ketika saya dipangku dan dibelai ayah ibu. Ketika itu, saya tak kekurangan sesuatu pun untuk memenuhi kebutuhan hidup saya. Apa saja yang saya inginkan pasti tersedia. Tetapi anak-anak di depan pelupuk mata saya saat ini tak memiliki apa-apa. Mereka hanya memiliki suara yang memekikkan tangis kesengsaraan. Tiada sesuap nasi berarti suatu tragedi besar bagi kelansungan hidup mereka.

Baru saja saya dengar cerita ibu-ibu mereka bahwa anak-anak itu tidak bisa sekolah. Tiada baju yang pantas yang mendukung pelajaran demi pelajaran di sekolah. Juga tidak ada alat tulis untuk menggambar dan menulis ilmu matematika.

Batinku terenyuh mendengarkan semua keluh kesah itu. “Apa yang bisa aku buat untuk mereka yang terlantar tak berdaya ini?” Aku memberontak terhadap diriku sendiri, seolah kondisi mereka itu menyiratkan ketidakpedulian sosialku terhadap sesama.

Mungkin Anda pernah menyaksikan peristiwi yang saya alami ini. Hati Anda tentu juga tertegun bahkan trenyuh menyaksikannya. Anda mungkin merogoh saku Anda untuk mengambil sejumlah uang bagi orang-orang miskin. Anda tidak tega menyaksikan penderitaan mereka.

Sebagai orang beriman, kita semua mesti memiliki hati yang terbuka untuk sesama yang menderita. Mereka butuh uluran tangan kita. Mereka butuh bantuan kita. Yang kita berikan dari apa yang kita miliki itu akan sangat berguna bagi hidup mereka. Karena itu, janganlah jemu-jemu untuk membantu orang yang ada di sekitar Anda. Pemberian Anda dari hati yang tulus itu menunjukkan iman Anda kepada Tuhan. Iman yang hidup itu diwujudkan dengan melakukan yang terbaik bagi sesama.

Mari kita menghayati iman kita dalam hidup sehari-hari secara nyata dengan membantu sesama yang membutuhkan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


Bagikan

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.