Seorang kaya raya suatu hari mendatangi seorang bijak. Ia meminta nasihat agar ia dapat terus-menerus mempertahankan kekayaan miliknya. Dia ingin kekayaannya itu tetap dimiliki oleh anak cucunya sampai generasi yang tak terbatas.
Orang bijak itu tersenyum menatap orang kaya itu. Baginya, tidak ada yang menjamin bahwa harta kekayaan itu akan langgeng. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Orang bijak itu sering dimintai nasihat oleh orang-orang kaya.
Lantas ia meminta secarik kertas yang lebar lalu mulai menulis: ayah meninggal, anak meninggal, cucu meninggal.
Membaca tulisan seperti itu, orang kaya itu sangat marah. Ia menghardik orang bijak itu, “Aku memintamu untuk menulis sesuatu yang dapat mendatangkan kebahagiaan bagi keluargaku. Mengapa kamu menulis lelucon murahan seperti ini?”
Orang bijak itu tersenyum. Lalu ia menjawab, ”Lelucon ini ada tujuannya.”
Orang kaya itu masih marah. Ia tidak habis pikir, orang yang ia pandang sangat terhormat itu membuat lelucon yang aneh. Lalu ia bertanya, “Apa tujuan lelucon ini, orang bijak?”
“Kalau anakmu meninggal lebih dulu daripada Anda, pasti Anda merasa sangat sedih. Seandainya cucumu meninggal lebih dulu daripada Anda dan anakmu, tentulah Anda berdua akan sedih. Namun kalau dalam keluargamu, dari generasi ke generasi meninggal sesuai dengan urutan sebagaimana kutulis, peristiwa itu merupakan sesuatu yang normal. Saya menyebutnya kesejahteraan yang sesungguhnya.”
Dalam hidup ini ada orang yang begitu cemas akan hari esoknya. Karena itu, mereka membentengi diri dengan berbagai hal. Tujuannya agar mereka tidak kehilangan milik mereka. Kisah tadi merupakan salah satu contoh betapa orang kaya cemas akan harta kekayaannya.
Pertanyaannya, mengapa orang cemas akan hidupnya? Coba Anda pandang burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut. Apakah mereka memiliki harta yang menjadi jaminan bagi hidup mereka? Sungguh, hidup mereka tergantung dari belas kasih alam. Burung-burung itu mencari makanan di alam bebas. Setelah seharian mencari dan menemukan makanan, pada malam hari mereka tertidur pulas di pohon-pohon. Mereka tidak cemas, karena besok mereka akan bangun lagi dan menemukan makanan untuk hidup mereka.
Manusia memang bukan burung. Namun burung dapat menjadi contoh bagi kita untuk tidak cemas. Kalau Tuhan memperhatikan burung-burung di udara, tentu Tuhan juga akan memperhatikan kita. Karena itu, orang yang selalu cemas dalam hidup itu biasanya orang yang kurang percaya kepada Tuhan. Orang yang tidak menggantungkan hidupnya pada penyelenggaraan Tuhan. Bukankah Tuhan yang kita imani itu mahapengasih dan mahapenyayang? Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
263
Bagikan
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.