Pages

05 Januari 2010

Belajar Berkorban


Suatu hari, Ibu Lena menuturkan bahwa ketika pacaran, ia sungguh kagum terhadap suaminya. “Ia begitu semangat. Kendati harus berjalan kaki begitu jauh, ia tetap tempuh tanpa rasa lelah,” kata Ibu Lena..

“Hujan pun tak menjadi penghalang bagi dia untuk bertandang ke rumah keluargaku. Karena cintanya padaku, ia mempunyai semangat yang luar biasa. Semangat itu yang akhirnya mempersatukan kam,” tutur Ibu Lena dalam suatu pertemuan ibu-ibu wanita katolik.

Karang-kadang Lena jatuh kasihan terhadap calon suaminya. “Kalau pulang, saya antarkan dengan sepeda onthel. Dia saya boncengkan. Maklum, saat itu belum banyak motor seperti sekarang. Saya juga bersemangat dan tidak merasa berat memboncengkan dia, meskipun jalan menanjak. Semangat memupuk cinta itu menyatukan hati kami,” lanjut Ibu Lena.

Cinta yang tulus sering kali mengabaikan segala hal yang terasa berat dan penat. Orang yang mencintai itu selalu mengiringi hidupnya dengan korban. Karena korban itulah ia berhasil meraih cita-citanya. Biasanya cinta yang disertai dengan korban itu langgeng, lestari.

Cinta yang disertai dengan korban itu tidak digapai dalam sesaat. Tetapi melalui suatu proses yang sering berhadapan dengan berbagai tantangan. Kalau orang berhasil melewati tantangan itu, orang akan mengalami makna cinta yang mendalam bagi hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar cinta yang kita ungkapkan kepada orang lain itu tetap langgeng. Untuk itu, kita butuh korban dari diri kita sendiri. Cinta yang diucapkan tanpa bukti itu bagai tong kosong yang nyaring bunyinya. Beribu-ribu halaman buku boleh ditulis tentang cinta. Tetapi kalau tidak menjadi nyata dalam hidup, cinta seperti ini tetap tidak memiliki makna yang mendalam dalam hidup ini.

Karena itu, kita mesti belajar dari pengalaman hidup sehari-hari. Suatu hari seorang ibu tukang parkir ditanya mengapa ia melakukan pekerjaan seperti itu, ia menjawab bahwa ia lakukan itu demi cinta. Ia mencintai suami dan anak-anaknya. Karena itu, ia merelakan waktunya untuk mencari nafkah. Ia mengorbankan dirinya untuk kebahagiaan suami dan anak-anaknya.

Melakukan korban itu indah, kata orang. Mengapa? Karena korban itu mendatangkan sukacita bagi diri sendiri dan bagi sesama. Karena itu, mari kita jangan takut berkorban bagi sesama. Buah yang kita petik dari korban adalah kebahagiaan diri kita dan sesama yang ada di sekitar kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com



Bagikan

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.