Semua dimulai dari impian. Begitulah Frank Slazak ingin menjadi astronot. Ia ingin terbang ke luar angkasa. Tetapi ia tidak memiliki gelar. Ia bukan seorang pilot. Gedung Putih mengumumkan mencari warga biasa untuk ikut dalam penerbangan 51-L pesawat ulang-alik Challanger. Dan warga itu adalah seorang guru. Frank Slazak adalah seorang guru.
Hari itu juga ia mengirimkan surat lamaran ke Washington. Setiap hari ia berlari ke kotak pos. Akhirnya, datanglah amplop resmi berlogo NASA. Doanya terkabul. Ia lolos penyisihan pertama. Ini benar-benar terjadi padanya.
Selama beberapa minggu berikutnya, perwujudan impiannya semakin dekat saat NASA mengadakan test fisik dan mental. Begitu test selesai, ia menunggu dan berdoa lagi. Ia tahu ia semakin dekat pada impiannya. Beberapa waktu kemudian, ia menerima panggilan untuk mengikuti program latihan astronot khusus di Kennedy Space Center .
Dari 43.000 pelamar, kemudian terseleksi menjadi 10.000 orang. Lantas Frank Slazak menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir. Ada simulator, uji klaustrofobi, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara. Sayang, ia tidak terpilih. Yang terpilih adalah Christina McAufliffe. Frank Slazak kalah. Impiannya hancur. Ia mengalami depresi. Rasa percaya dirinya lenyap. Amarah menggantikan kebahagiaannya. Ia mempertanyakan semuanya, ”Kenapa Tuhan? Kenapa bukan aku? Bagian diriku yang mana yang kurang? Mengapa aku diperlakukan kejam?”
Selasa, 28 Januari 1986, ia berkumpul bersama teman-temannya untuk melihat peluncuran Challanger. Saat pesawat itu melewati menara landasan pacu, ia menantang impiannya untuk terakhir kali. Ia berkata, ”Tuhan, aku bersedia melakukan apa saja, agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku?”
Tujuh puluh tiga detik kemudian, Tuhan menjawab semua pertanyaannya dan menghapus semua keraguannya saat Challanger meledak dan menewaskan semua penumpangnya.
Sahabat, suatu kejadian yang sangat tragis hampir saja menimpa Frank Slazak. Ia masih beruntung. Ia tidak berada di dalam pesawat Challenger itu. Impiannya mungkin menjadi kenyataan. Namun hanya sesaat saja. Tentu saja Frank Slazak merasa bersyukur tidak menjadi bagian dari misi luar angkasa itu. Ia boleh mengalami sukacita dalam hidupnya. Ia masih dapat melangsungkan kehidupannya di dunia ini.
Setiap orang punya impian untuk memiliki hidup yang bahagia. Setiap orang ingin agar impiannya itu tercapai. Ia boleh meraih impiannya. Namun orang juga mesti sadar bahwa apa yang telah diraihnya itu mesti dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Karena itu, orang mesti berusaha untuk tetap setia pada impian yang telah diraihnya itu. Setiap resiko mesti berani ditanggungnya.
Kisah tadi memberi inspirasi bagi kita bahwa sebuah cita-cita dapat diraih dalam hidup ini. Mimpi yang terus-menerus dikobarkan akan memacu seseorang untuk bekerja keras tanpa lelah untuk meraih mimpinya itu. Ketika mimpi itu tidak bisa diraih secara penuh, orang pun tidak perlu merasa frustrasi. Masih ada jalan lain yang dapat dilewati. Masih ada kesempatan lain yang dapat dilakukan untuk meraih cita-cita itu.
Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa berusaha meraih cita-cita kita. Kita mesti setia pada komitmen yang telah kita canangkan. Dengan demikian, kita dapat meraih cita-cita sebagai sarana untuk menemukan kebahagiaan dalam hidup. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
678
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.