Pages

04 Mei 2011

Mengolah Kemarahan Menjadi Kemampuan Mencintai



Seorang ayah bingung menghadapi anak laki-lakinya yang seringkali marah terhadap semua orang. Suatu kali sang ayah menemukan cara menghadapi anaknya. Ia memanggil anaknya dan berkata, “Nak, kalau kamu sedang marah ambillah paku dan tancapkan paku itu di pagar belakang rumah kita, lampiaskan marahmu di sana. Nanti kalau kamu merasa amarahmu terhadap orang itu telah hilang, cabutlah paku yang engkau tancapkan tadi.”

Anak itu melaksanakan apa yang diperintahkan ayahnya. Suatu kali anaknya memanggil ayahnya. Dengan bangga dia berkata, “Ayah, lihatlah ke pagar belakang.”

Ayahnyapun bergegas ke sana. Ia mendapati tidak ada sebatang pakupun yang tertancap di sana. Yang ada hanyalah bekas lubang paku yang dalam, yang memenuhi pagar tersebut.”

Segera ia memanggil anaknya dan berkata, “Nak.. lihatlah, sekalipun engkau telah mencabut paku-paku tersebut, namun bekas lubangnya tetap ada. Itu artinya amarah yang engkau lampiaskan ke orang lain, akan tetap meninggalkan lubang yang dalam di hati. Sekalipun engkau telah meminta maaf bahkan melupakan amarahmu, namun bekasnya tetap ada dalam hati orang lain.”

Sahabat, tentu saja setiap orang pernah marah terhadap sesamanya. Berbagai alasan dapat diungkapkan dari seseorang yang sedang marah. Ada yang marah terhadap orang yang melakukan kesalahan terhadapnya, namun hanya sebentar saja. Tidak lama kemudian ia baikkan lagi dengan temannya itu.

Ada yang marah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terhadap orang yang dianggap melakukan kesalahan terhadapnya. Orang seperti ini tidak pernah lupa kesalahan orang lain. Orang seperti ini belum bisa mengolah emosinya.

Semestinya hati yang panas itu diolah menjadi dingin dan sejuk. Dengan demikian, kemarahan itu tidak menjadi beban dalam hidup. Bahayanya adalah orang akan mengalami sakit hati. Luka batin akan menjadi bagian hidup orang seperti ini.

Karena itu, kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kita mesti mudah mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Marah boleh-boleh saja. Namun ketika tiba saatnya, kita mesti mengolah emosi kita menjadi sesuatu yang berguna bagi hidup kita. Emosi yang negatif dapat diolah menjadi kekuatan bagi diri kita untuk maju setapak demi setapak. Untuk itu, orang mesti berusaha keras untuk mengolah emosi jiwanya yang negatif itu. Orang tidak boleh membiarkan emosi atau kemarahan itu menguasai dirinya. Orang mesti berusaha untuk mengatasinya.

Orang beriman mesti mendekatkan diri kepada Tuhan, ketika kemarahan mendatanginya. Artinya, orang beriman mesti berani meminta bantuan kepada Tuhan, agar Tuhan memberikan jalan baginya untuk mengolah emosi yang negatif menjadi kemampuan untuk mencintai semua orang. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

671

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.