Pages

20 Maret 2014

Memaknai Kebebasan dalam hidup



Apa yang akan terjadi terhadap diri Anda, ketika anak atau salah seorang dari keluarga Anda terlibat dalam suatu kecelakaan? Saya rasa, Anda pasti mengalami kepedihan yang luar biasa.

September 2013 lalu kita semua mendengar dan menyaksikan kisah yang sangat menyedihkan dari seorang remaja berusia 13 tahun. Namanya adalah Abdul Qodir Jaelani. Minggu dini hari (8/9) sekitar pukul 00.45 WIB, Abdul Qodir Jaelani mengalami kecelakaan di ruas tol Jagorawi. Ia mengendarai mobil sedan lancer. Mobil yang dikendarainya itu tidak bisa ia kendalikan. Mobil menghantam pagar pembatas lalu menyeberang dan menabrak dua mobil lain.

Peristiwa itu kemudian menewaskan enam orang. Sedangkan Abdul Qodir Jaelani dan temannya mengalami patah tulang pada beberapa bagian tubuh. Enam belas orang menjadi korban dari tragedi anak di bawah umur yang menyetir mobil. Berbagai pihak sangat menyayangkan peristiwa tragis itu. Banyak orang mesti menderita akibat ulah seorang anak yang semestinya tidak boleh menyetir mobil.

Soalnya adalah siapa yang mesti disalahkan? Abdul Qodir Jaelani adalah putra bungsu dari Ahmad Dhani, musisi terkenal di negeri ini. Ahmad Dhani merasa terpukul dan bersalah atas kejadian yang menimpa putranya. Bahkan, psikis Dhani pun ikut tergoncang melihat apa yang terjadi dengan putranya itu.

Pemerhati anak Seto Mulyadi yang menjengguk Abdul Qodir Jaelani di Rumah Sakit Pondok Indah, Minggu (8/9), bekata, "Dhani sangat tergoncang. Ia merasa bersalah sekali. Perlu pendampingan psikologis. Prihatin dan merasa bersalah," ujar.

Sementara sejumlah pihak yang lain mengatakan bahwa peristiwa ini terjadi sebagai akibat dari salah urus dari orangtuanya. Orangtuanya begitu mudah memberikan izin kepada sang anak yang mengemudi mobil. Padahal umurnya belum cukup untuk mengemudi mobil.

Sahabat, pepatah tua mengatakan bahwa sesal kemudian tidak ada guna. Setiap peristiwa menyedihkan yang telah berlalu menjadi pelajaran pahit bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Orang mesti berani menimba makna kepahitan itu bagi hidup yang lebih baik lagi. Semua pihak yang terlibat mesti mau belajar. Tidak bisa hanya membiarkan peristiwa menyedihkan itu berlalu begitu saja.

Kisah tragis anak di bawah umur di atas mengajak kita untuk melihat hidup ini secara lebih jernih. Upaya untuk saling menyalahkan tidak memiliki makna apa-apa, karena semuanya sudah terjadi. Nasi telah menjadi bubur. Sesal kemudian tak ada guna. Namun kejadian ini tentu saja meninggalkan kepedihan demi kepedihan dalam hidup. Ada sejumlah orang yang menjadi korban kecelakaan. Mereka masih akan mengalami penderitaan dalam hidup.

Peristiwa tragis ini membuka refleksi yang lebih dalam tentang makna kebebasan dalam kehidupan bersama. Orang boleh saja mengatakan dirinya memiliki kebebasan untuk melakukan berbagai hal. Namun yang mesti diingat adalah kebebasan itu memiliki keterbatasannya. Dalam peristiwa tragis ini ada batas hukum, yaitu mengemudikan kendaraan di bawah umur.

Kebebasan dalam hidup juga mesti dilihat dalam konteks hidup bersama. Orang mesti menyadari bahwa kebebasannya dapat berakibat fatal bagi hidup orang lain. Mengendarai kendaraan dengan kencang bisa mencelakakan orang lain. Dan hal ini sering terjadi dalam kehidupan manusia.

Karena itu, orang beriman mesti memaknai kebebasannya dalam konteks yang lebih luas. Orang beriman mesti memaknai kebebasan dirinya dalam konteks keselamatan bagi diri dan sesamanya. Orang tidak hanya memikirkan kebaikan dirinya sendiri. Tetapi orang mesti memikirkan kebaikan banyak orang. Mari kita memaknai kebebasan kita dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, keselamatan diri dan sesama dapat terjamin. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Malajah FIAT


1079

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.