Pages

11 September 2009

Mewariskan Nilai-nilai bagi Sesama



Waktu merayakan ulang tahunnya ke-85, almarhum Prof Sartono, mantan guru besar Fakultas Ilmu Budaya, UGM, meluncurkan buku berjudul "Sejak Indische sampai Indonesia. Buku itu merupakan kumpulan 27 tulisannya yang dimuat di media massa antara tahun 1989 hingga 2000. Buku ini berbeda dari buku-bukunya sebelumnya yang merupakan buah pikirannya secara utuh.

Ketika memperkenalkan bukunya, Prof. Sartono berkata, “Saya selalu ingat dulu ada kritikan dari orang muda UGM yang mengatakan, kalaupun ada karya manula, biasanya hanya berupa kumpulan karangan. Ternyata itu terjadi pada saya.” Meskipun begitu, menurut Prof Dr. Taufik Abdullah, buku setebal 316 halaman itu bukan sekadar kumpulan tulisan. Ia berkata, “Buku itu memperlihatkan corak kerja sesungguhnya dari seorang yang telah memilih kariernya sebagai sejarawan.”

Di hadapan tamu-tamunya, yang sebagian besar adalah murid atau mantan muridnya, Prof. Sartono memberikan nasihat. Salah satu pesan penting yang disampaikan adalah harapan agar generasi muda, khususnya sejarawan, tetap memegang prinsip mengandalkan kekuatan batin dan tidak bertumpu pada kemegahan dunia. Menurut dia, seseorang tidak pernah dinilai dari harta yang ia miliki, tetapi dari apa yang telah ia perbuat untuk orang lain. Ia berkata, “Lihat saja semua tokoh besar yang sudah meninggal. Tidak ada dari mereka yang dikenal karena memiliki mobil mewah atau rumah, tetapi karena karya yang telah ia buat selama hidupnya.”

Sesuai dengan prinsipnya, ia berusaha meninggalkan karya yang bermanfaat bagi orang banyak. Selain puluhan buku yang ditulisnya, ia juga melahirkan banyak sejarawan terkenal, seperti Kuntowijoyo, Taufik Abdullah dan Ibrahim Alfian. Dekan FIB UGM, Syamsul Hadi, menyebut Prof Sartono sebagai lumbung ilmu para sejarawan. Ia berkata, "Prof Sartono adalah guru dari tujuh generasi sejarawan di Indonesia. Ini tentu luar biasa.”

Meskipun sudah berusia 85 tahun, ia tidak berhenti berkarya. Ia masih berusaha menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat.

Orang egois hanya memikirkan kepentingannya sendiri atau paling banter keluarganya. Orang sosial berusaha berbuat baik bagi orang lain seperti apa yang dilakukan Prof Sartono. Orang saleh berbuat baik lebih dari itu. Ia berbuat baik kepada orang lain sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan, agar Tuhan dipermuliakan dan orang yang ia layani menerima berkat terbesar.

Sebagai orang beriman, kita semua dipanggil untuk terus-menerus berbuat baik bagi Tuhan dan sesama. Perbuatan baik yang kita lakukan itu akan sangat berharga bagi sesama. Untuk itu, orang mesti mampu menanggalkan egoismenya. Orang mesti berani membuka hatinya kepada Tuhan yang telah memberinya kehidupan.

Dengan cara ini, orang beriman dapat berguna bagi sesamanya. Orang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Memikirkan orang lain dalam hidup ini merupakan suatu keutamaan yang mesti dikembangkan oleh orang beriman. Mari kita tidak jemu-jemu berbuat baik, karena Tuhan akan berkenan kepada kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.




163

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.