Sering orang melarikan diri dari penderitaan yang dihadapi. Mereka kemudian menyalahkan orang lain atau menyalahkan Tuhan. Padahal Tuhan begitu baik terhadap hidup mereka. Tuhan memelihara hidup mereka.
Suatu hari seorang ibu kehilangan anak semata wayangnya. Ia sangat menyayangi anaknya itu. Namun karena suatu penyakit yang tak tersembuhkan, anaknya menutup mata untuk selama-lamanya. Ibu itu seolah-olah kehilangan pegangan hidup. Ia menjadi loyo dalam hidupnya. Ia enggan untuk memulai hidupnya lagi seperti sedia kala. Ia tenggelam dalam duka nestapa yang berlarut-larut.
Ia tidak mau menerima kenyataan itu. Ia berontak terhadap situasi itu. Ia menuduh Tuhan telah melupakan dirinya. Ia memutuskan untuk meninggalkan Tuhan. Ia berkata, “Mengapa Tuhan memberi penderitaan ini bagi hidup saya? Mengapa Tuhan tidak peduli terhadap doa-doa saya?”
Ibu itu terjerembab dalam pikirannya sendiri. Ia menjadi stress. Ia tidak ingin meneruskan hidupnya lagi. Untung, sang suami kemudian menyadarkan dirinya. Sang suami berkata kepadanya, “Kita tidak boleh menyalahkan siapa-siapa. Anak kita meninggal karena penyakit yang menggerogotinya. Lebih baik baginya untuk kembali ke haribaan yang mahakuasa. Kalau dia masih hidup, penderitaannya akan lebih besar lagi.”
Ibu itu tersadar dari situasinya. Ia berusaha untuk bangkit dari keterpurukannya. Berbulan-bulan kemudian ia dapat menerima kenyataan hidupnya.
Sahabat, kebaikan Tuhan sering kita temukan dalam hidup sehari-hari. Kita masih bisa bangun pagi-pagi untuk menghirup udara yang segar. Kita boleh menikmati sarapan pagi bersama orang-orang yang kita cintai. Kita masih boleh bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup kita sehari-hari.
Namun sering manusia kurang menyadari kebaikan Tuhan itu. Manusia merasa bahwa kalau Tuhan itu baik, itulah kewajiban Tuhan. Karena itu, ketika manusia mengalami penderitaan dan kegagalan dalam hidup, mereka cenderung mencari kambing hitam. Siapa yang sering dikambinghitamkan? Jawabannya adalah Tuhan sering disalahkan oleh manusia yang sedang menderita. Tuhan menjadi kambing hitam penderitaan dan kegagalan manusia.
Benarkah sikap demikian? Tentu saja sikap demikian bukanlah sikap orang yang beriman. Orang beriman itu orang yang bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya. Orang yang berani menghadapi resiko kehidupan ini. Bukan orang yang cengeng. Bukan orang yang mudah mengalihkan kesalahan yang dibuatnya kepada orang lain atau Tuhan.
Untuk itu, apa yang mesti dibuat oleh manusia? Yang mesti dilakukan oleh manusia adalah memiliki hati yang lapang. Artinya, hati yang siap sedia menerima resiko apa pun yang dihadapinya. Hati yang lapang itu hati yang tidak kecut. Hati yang tidak takut terhadap setiap bentuk tantangan dan ancam. Hati yang lapang itu hati yang mau menerima sesama apa adanya.
Karena itu, kita mesti bertobat. Artinya, kita menerima setiap kenyataan yang terjadi atas diri kita dengan hati yang lapang dan besar hati. Lantas bersama Tuhan yang kita imani itu kita berusaha untuk mengatasi setiap persoalan hidup kita. Kita biarkan Tuhan berkarya di dalam diri kita dengan rahamatNya. Dengan demikian, kita mampu menanggung setiap beban derita yang kita hadapi. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales SCJ
Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT
1033
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.