Pages

14 Januari 2014

Membantu Sesama untuk Hidup dalam Damai

 

Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda berjumpa dengan orang-orang yang menolak sesamanya? Anda biarkan saja? Atau Anda berusaha mendamaikannya?

Suatu ketika seorang ibu tua mendatangi saya. Di tangannya ia memegang sebuah kantong plastik hitam berisi pakaian-pakaiannya. Air mata terus-menerus bercucuran dari matanya membasahi wajahnya yang penuh keriput itu.

Sambil menyeka air matanya, ia berkata, “Tolong saya, romo. Saya diusir anak saya.”

Saya bertanya kepadanya, “Kenapa ibu diusir?”

Ia menjawab, “Kata anak saya, saya terlalu cerewet. Saya terlalu banyak menuntut. Jadi lebih baik saya tidak tinggal di rumahnya saja.”

Saya berusaha mengerti keadaan ibu itu. Setelah mengetahui nama dan alamat anaknya, saya mengajak ibu itu pulang ke rumahnya. Kami naik becak sampai di depan pintu rumah anaknya. Saya kaget luar biasa. Saya berhadapan dengan sebuah rumah yang besar dengan halaman luas. Pasti penghuninya bukan orang miskin atau pas-pasan.

Dalam hati, saya berkata, “Sayang sekali rumah sebagus ini kurang dihiasi oleh cinta kasih. Masak, seorang anak tega mengusir pergi ibu yang telah melahirkannya? Tetapi inilah kenyataan zaman.”

Sambil mempersilakan saya duduk, ibu muda itu bertanya, “Oh, romo. Baru pertama kali ke sini?”

Saya menjawab, “Yah, pertama kali ini saya ke sini. Mudah-mudahan saya tidak mengganggu. Saya datang mengantar ibu Anda. Dia baru saja mendatangi saya, karena ia mengaku diusir oleh anak kandungnya sendiri.”

Ibu muda itu tampak tegang. Wajahnya yang ceria berubah menjadi pucat.

“Kenapa ibu saya, romo?” ia pura-pura bertanya.

“Yah, ibu Anda membutuhkan kasih darimu. Dia butuh diterima. Anda masih ingat kata-kata Tuhan Yesus sewaktu Ia ditinggikan di atas salib? Tuhan Yesus menyerahkan ibuNya kepada seorang muridNya. Murid itu menerima tanpa banyak kata,” saya mencecar ibu muda beranak dua itu.

Sambil mencucurkan air mata penyesalan, ibu muda itu berkata, “Maafkan saya, romo. Saya kilaf.”

Saya berkata, “Saya mengerti. Tetapi sekarang Anda mesti minta maaf dari ibu Anda. Katakan padanya bahwa Anda masih mencintainya.”

Ibu muda itu langsung memeluk ibunya, sambil berteriak, ia berkata, “Mama.....”

Sahabat, hari itu juga rekonsiliasi pun terjadi. Damai bersemi kembali. Kasih kembali mereka jalin. Sejak itu, saya tidak pernah mendengar lagi percekcokan di antara mereka. Terjadi suatu harmoni di antara mereka, karena mereka saling menerima sebagai murid-murid Tuhan Yesus.

Namun rekonsiliasi itu bukan berjalan tanpa peran Tuhan Allah yang lebih dahulu menerima kehadiran manusia apa pun dosa yang telah mereka perbuat. Tuhan tidak pernah melupakan ciptaanNya. Kalau pun manusia melupakan Tuhan, Allah tidak akan pernah melupakannya.

Nabi Yesaya berkata, “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kadungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau.”

Benar, Tuhan menghendaki agar kita tidak saling melupakan, karena kita adalah saudara yang mesti saling menerima. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1020

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.