Suatu hari seorang pemuda sedang berjalan di tengah hutan. Tiba-tiba ia mendengar jeritan minta tolong. Ia mendekat ke arah suara itu. Ia menemukan seorang pemuda yang sebaya dengannya yang sedang bergumul dengan lumpur yang mengambang. Semakin bergerak ia malah semakin dalam terperosok. Ia mengulurkan tangannya kepada pemuda yang bergumul dengan lumpur itu. Tidak mudah ia menariknya ke atas. Setelah usaha keras sekitar tiga jam, ia berhasil menyelamatkannya.
Setelah berhasil menyelamatkannya, ia membawanya pulang ke rumahnya. Pemuda, sang penyelamat, sangat terkagum-kagum melihat rumah yang diselamatkan itu begitu besar, tertata rapih dan indah.
Ayah pemuda yang diselamatkan itu sangat berterima kasih atas perbuatan baik pemuda itu. Ia memberinya hadiah berupa uang sebagai ucapan terima kasih telah menyelamatkan nyawa anaknya. Namun pemuda itu menolaknya. Ia berkata, ”Sudah sepantasnya orang saling menolong. Apalagi ada sesama yang sedang berada dalam kesulitan.”
Sebagai ganjarannya, keduanya menjalin persahabatan yang sangat baik. Lama-lama ketahuan oleh bapak yang kaya raya itu kalau pemuda itu seorang yang miskin. Ia punya cita-cita menjadi dokter, namun tidak punya biaya. Bapak yang kaya raya itu tergerak hatinya untuk membiayai semua biaya sekolahnya. Pemuda itu pun berhasil dalam studinya dan menjadi dokter yang terkenal. Ia tetap menjalin persahabatan dengan keluarga itu. Bahkan keluarga itu ia anggap sebagai keluarganya sendiri.
Ada ungkapan bahwa yang menabur banyak akan menuai banyak. Yang menabur sedikit akan menuai sedikit. Yang menabur kebaikan akan menuai kebaikan. Yang menabur kejahatan akan menuai kejahatan pula. Tentu saja orang yang menabur kebaikan menginginkan keselamatan dan kebahagiaan bagi semua orang. Ia tidak peduli akan berapa banyak kebaikan yang akan diterimanya sebagai balasan. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana orang lain menemukan sukacita dan damai dalam hidup ini.
Namun ada juga orang yang menabur kejahatan. Hal-hal kriminal menjadi bagian dari hidupnya. Orang seperti ini selalu berpatokan pada dirinya sendiri, egonya sendiri. Yang selalu dibangun adalah seberapa besar keuntungan yang akan ia peroleh untuk dirinya sendiri. Yang diusahakannya adalah hal-hal yang dapat memenuhi dirinya sendiri.
Tentu saja sikap seperti ini bertentangan dengan panggilan manusia untuk hidup berdamai dengan semua orang. Orang yang mau hidup berdamai itu orang yang punya kepedulian untuk kebaikan sesamanya. Orang yang mudah tergerak hatinya untuk kebaikan sesamanya. Bukan orang yang melakukan segala sesuatu untuk keuntungan bagi dirinya sendiri.
Sebagai orang beriman, kita dipanggil untuk membawa kebaikan bagi sesama. Yang mesti ditaburkan oleh orang beriman adalah kebaikan demi kebaikan. Orang beriman selalu menjauhkan dirinya dari hal-hal yang jahat yang merusak relasi dengan sesama. Mari kita berusaha untuk menabur kebaikan, agar hidup ini semakin memiliki makna. Menabur kebaikan sebanyak mungkin mesti menjadi obsesi utama orang beriman. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
487
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.