Suatu hari seorang anak menghampiri meja kerja ayahnya. Lantas ia memungut sebatang pensil yang patah. Anak itu berkata, ”Boleh saya ambil, ayah?”
Ayahnya yang sedang sibuk memandangnya sekilas lalu mengangguk. Sambil tersenyum, ayahnya berkata, ”Ambil saja.”
Setelah itu, ayahnya lupa selamanya. Padahal bagi anaknya, pensil itu sangat berharga untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Ia bersyukur hari itu ia mendapatkan pensil untuk melukis. Setelah meruncingkan pensil itu, ia gunakan dengan baik.
Baginya, itulah alat yang sangat bermakna. Ia dapat mengungkapkan dirinya melalui pensil tersebut. Ia dapat melukis sebuah obyek dengan sangat indah. Itulah cara ia mengungkapkan isi hatinya kepada orang lain. Melalui pensil itu ia dapat membagikan pengalaman hidupnya kepada orang lain.
Dengan hati yang tulus anak itu telah mendapatkan pensil itu. Dengan hati yang tulus pula ia membagikan pengalaman hidupnya kepada sesama melalui lukisan-lukisannya. Begitu banyak orang mengagumi lukisan-lukisannya. Begitu banyak orang menyukai karya-karyanya.
Ketulusan hati di jaman sekarang sudah menjauh dari hidup manusia. Mengapa bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi, karena manusia lebih mementingkan egoismenya. Apa yang dilakukan itu demi kepentingan dirinya sendiri saja. Kepentingan sesama dikesampingkan.
Orang yang memiliki ketulusan hati yang besar biasanya mengerjakan sesuatu tanpa tedeng aling-aling. Orang seperti ini berani menularkan apa yang dimilikinya kepada sesamanya. Ilmu yang dimiliki itu bukan dipakai hanya untuk diri sendiri. Ilmu yang dimiliki itu digunakan untuk kesejahteraan sesama.
Orang yang tulus hati biasanya berani mengorbankan hidupnya bagi sesamanya. Ia tidak peduli seberapa besar korban yang akan ia berikan. Baginya, korban itu menjadi suatu keharusan. Mengapa? Karena itulah hakekat manusia. Manusia mesti berani memberikan hidupnya bagi sesamanya.
Apakah orang beriman berani untuk memiliki ketulusan hati dalam hidup ini? Bukankah banyak orang beriman yang takut untuk berkorban bagi sesamanya? Bukankah banyak orang beriman yang berpikir terlalu panjang dan berliku-liku, ketika mesti membantu sesamanya?
Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memiliki hati yang tulus terhadap sesama kita. Kita ingin melakukan sesuatu untuk sesama dengan sepenuh hati kita. Dengan demikian, kita dapat menyumbangkan hidup dan karya kita bagi sesama. Kita dapat membangun suatu relasi yang baik yang dapat menyejahterakan sesama. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
488
Ayahnya yang sedang sibuk memandangnya sekilas lalu mengangguk. Sambil tersenyum, ayahnya berkata, ”Ambil saja.”
Setelah itu, ayahnya lupa selamanya. Padahal bagi anaknya, pensil itu sangat berharga untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Ia bersyukur hari itu ia mendapatkan pensil untuk melukis. Setelah meruncingkan pensil itu, ia gunakan dengan baik.
Baginya, itulah alat yang sangat bermakna. Ia dapat mengungkapkan dirinya melalui pensil tersebut. Ia dapat melukis sebuah obyek dengan sangat indah. Itulah cara ia mengungkapkan isi hatinya kepada orang lain. Melalui pensil itu ia dapat membagikan pengalaman hidupnya kepada orang lain.
Dengan hati yang tulus anak itu telah mendapatkan pensil itu. Dengan hati yang tulus pula ia membagikan pengalaman hidupnya kepada sesama melalui lukisan-lukisannya. Begitu banyak orang mengagumi lukisan-lukisannya. Begitu banyak orang menyukai karya-karyanya.
Ketulusan hati di jaman sekarang sudah menjauh dari hidup manusia. Mengapa bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi, karena manusia lebih mementingkan egoismenya. Apa yang dilakukan itu demi kepentingan dirinya sendiri saja. Kepentingan sesama dikesampingkan.
Orang yang memiliki ketulusan hati yang besar biasanya mengerjakan sesuatu tanpa tedeng aling-aling. Orang seperti ini berani menularkan apa yang dimilikinya kepada sesamanya. Ilmu yang dimiliki itu bukan dipakai hanya untuk diri sendiri. Ilmu yang dimiliki itu digunakan untuk kesejahteraan sesama.
Orang yang tulus hati biasanya berani mengorbankan hidupnya bagi sesamanya. Ia tidak peduli seberapa besar korban yang akan ia berikan. Baginya, korban itu menjadi suatu keharusan. Mengapa? Karena itulah hakekat manusia. Manusia mesti berani memberikan hidupnya bagi sesamanya.
Apakah orang beriman berani untuk memiliki ketulusan hati dalam hidup ini? Bukankah banyak orang beriman yang takut untuk berkorban bagi sesamanya? Bukankah banyak orang beriman yang berpikir terlalu panjang dan berliku-liku, ketika mesti membantu sesamanya?
Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memiliki hati yang tulus terhadap sesama kita. Kita ingin melakukan sesuatu untuk sesama dengan sepenuh hati kita. Dengan demikian, kita dapat menyumbangkan hidup dan karya kita bagi sesama. Kita dapat membangun suatu relasi yang baik yang dapat menyejahterakan sesama. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
488
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.