Waktu saya SMP saya tinggal di asrama. Hampir setiap siang saya dan beberapa teman tidak bisa tidur. Padahal aturan tidur siang itu harga mati bagi anak-anak asrama. Karena itu, bagi saya aturan seperti ini sangat menyiksa. Maklum, sebagai anak-anak dari desa yang tidak biasa tidur siang, kami merasa risih untuk tidur siang. Kalau di kampung biasanya kami keluyuran ke mana-mana begitu usai makan siang di rumah setelah pulang sekolah.
Soalnya adalah kami mesti mengikuti aturan di asrama yang mewajibkan setiap siswa tidur siang. Jadilah kami membaringkan diri di atas tempat tidur, meski mata tetap membelalak menatap langit-langit asrama.
Suatu siang, saya dan teman-teman terpaksa keluar kamar tidur dan duduk-duduk santai di samping kamar tidur di samping lapangan sepakbola. Kami tidak berani main sepakbola, karena takut mengganggu siswa-siswa lain yang sedang tidur. Kami sungguh-sungguh menikmati siang itu. Tetapi tidak lama. Ketika sedang asyik ngobrol, seorang pembimbing asrama mendatangi kami. Ia menegur kami.
“Kalian mau kembali ke tempat tidur masing-masing atau kalian saya beri hukuman,” kata pembimbing itu.
“Hukuman apa?” tanya saya.
“Bagi yang tidak mau tidur siang akan saya beri hukuman berupa kerja. Buat lobang sampah!” kata pembimbing itu dengan nada tinggi.
“Kalau begitu kami terima hukuman daripada harus tidur,” kata seorang teman saya.
Semua yang lain mendukung pernyataan teman itu. Pembimbing itu tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Bukan berarti ia tidak setuju dengan pendapat kami. Tetapi gelengan kepalanya sebagai tanda keanehan kami. Jadilah setiap siang kami mendapat ‘hukuman’ dengan bekerja. Pekerjaan itu bukan hanya membuat lobang sampah, tetapi juga bekerja di kebun nenas, kebun pepaya dan kebun sayur. Lama-kelamaan pekerjaan seperti itu bukan lagi suatu hukuman. Hukuman itu berubah menjadi bagian dari hidup kami.
Selama berada di asrama itu, saya dan teman-teman belajar bagaimana kami dapat mengembangkan diri dalam pekerjaan-pekerjaan pada saat teman-teman lain menikmati tidur siang yang pulas. Awalnya terasa sulit. Ada saja godaan yang mengganggu. Namun lama-lama menjadi suatu habbit alias kebiasaan yang baik yang berguna bagi sesama. Coba kalau kami tidak merelakan diri dihukum dengan membuat lobang-lobang sampah, pasti banyak sampah yang bertebaran di mana-mana. Akibatnya, bau busuk bisa mengganggu aktifitas keseharian para penghuni asrama.
Yah, hidup bersama dalam sebuah asrama menuntut korban dari seorang akan yang lain. Kalau orang mau berhasil dalam kehidupan ini, korban-korban mesti dijalani dengan sukacita. Bagi mereka yang tinggal di asrama, mungkin ini salah satu contoh mengembangkan diri dalam hal-hal yang tampaknya menjadi beban.
Tuhan memberi kita kesempatan yang banyak untuk mengubah hukuman menjadi berkat bagi sesama. Kita dapat menemukan cara-cara untuk mengubah hidup kita yang tampaknya kurang berhasil menjadi suatu sukacita bagi diri dan sesama. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
398
Bagikan
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.