Pages

20 Juni 2010

Lawan Budaya Kematian dengan Budaya Kehidupan

Beberapa hari yang lalu (Juni 2009), kita dikejutkan oleh tawuran sejumlah siswi SMP di sebuah Taman Rekreasi di Kalimantan. Terjadi duel satu lawan satu. Ada yang pakai rok, ada yang pakai celana panjang. Mereka saling menendang, tarik-tarikan rambut dan berguling-guling di tanah seperti para pegulat. Tragisnya lagi, teman-teman mereka justru bersorak-sorai. Mereka memberikan dukungan kepada teman-temannya yang sedang berkelahi itu.

Banyak yang mengalami memar di wajah. Wajah-wajah yang cantik itu menjadi biru dan lebam. Yang sakit adalah mereka sendiri. Yang malu mereka sendiri. Yang dipertanyaakn oleh banyak orang tentang rasa sopan santun adalah mereka. Semua mata tertuju kepada mereka. Lebih lanjut lagi adalah kebaikan orangtua mereka dipertanyakan. Sekolah mereka juga menjadi obyek tudingan sebagai sekolah yang kurang menanamkan rasa persaudaraan di antara murid-murid.

Kalau dicermati lebih dalam, kondisi seperti ini merupakan cerminan ketidakdewasaan diri. Memang, mereka masih anak-anak yang punya emosi yang meledak-ledak. Mereka masih perlu banyak belajar untuk menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin. Mereka masih butuhkan bimbingan dari berbagai pihak, agar mereka tidak dikuasai oleh egoisme mereka. Mereka mesti disadarkan bahwa egoisme berlebihan hanya merusak relasi dengan sesama.

Perkelahian massal antarpara pelajar bukan hal yang pertama terjadi. Hal ini sering terjadi di negeri ini. Inilah salah satu bentuk budaya kematian yang sedang melanda dunia. Budaya kematian itu diawali dengan cinta yang berlebihan terhadap diri sendiri. Cinta seperti ini kemudian menumbuhkan rasa benci yang mendalam terhadap sesama. Akibatnya, sesama menjadi sasaran kebencian itu. Kawan jadi lawan. Sahabat berubah menjadi musuh bebuyutan.

Kalau budaya kematian ini tidak bisa diubah oleh tekad baik, kita akan tetap menyaksikan suatu situasi yang runyam. Suatu situasi yang mengenaskan yang menghancurkan kehidupan manusia. Lambat laun budaya kematian ini akan meresap ke dalam kehidupan bersama. Lama-kelamaan, orang akan mengiyakan budaya kematian ini. Orang merasa situasi seperti ini sudah menjadi biasa. Menyakiti orang lain sebagai hal yang biasa dan sesuai dengan kehidupan bersama. Kalau ini sampai terjadi, ini suatu tragedi kehidupan manusia. Ini suatu skandal kehidupan manusia.

Karena itu, orang beriman mesti berani memberantas budaya kematian ini sampai ke akar-akarnya. Budaya kematian tidak bisa ditolerir dalam kehidupan bersama. Yang mesti selalu tampil dalam kehidupan bersama adalah budaya kehidupan. Suatu budaya yang selalu memperjuangkan nilai-nilai kehidupan seperti cinta kasih, persaudaraan dan kedamaian.

Mari kita terus-menerus memperjuangkan budaya kehidupan dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian, kita mampu membangun suatu hidup yang lebih aman dan tenteram dalam kehidupan bersama. Budaya kehidupan mesti menjadi andalan dalam hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

414



Bagikan

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.