Seorang ayah memasukkan putranya yang berusia lima tahun ke sekolah musik untuk belajar piano. Ia rindu melihat anaknya kelak menjadi seorang pianis yang terkenal. Baru sebulan belajar, seorang pianis yang terkenal datang ke kota itu. Sang ayah membeli dua buah tiket pertunjukan, untuk dirinya dan anaknya.
Satu jam sebelum konser dimulai, kursi telah terisi penuh. Sang ayah duduk dan putranya tepat berada di sampingnya. Namun anaknya tidak betah duduk diam terlalu lama. Ia menyelinap pergi. Ketika lampu gedung mulai diredupkan, sang ayah terkejut ketika melihat anaknya berada dekat panggung pertunjukan. Anaknya berjalan menghampiri piano yang akan dimainkan pianis terkenal itu. Didorong oleh rasa ingin tahu, tanpa takut anak tersebut duduk di depan piano. Ia mulai memainkan sebuah lagu sederhana, twinkle-twinkle little star.
Operator lampu sorot, yang mengira konser telah dimulai langsung menyorotkan lampunya ke tengah panggung. Seluruh penonton terkejut, melihat yang berada di panggung bukan sang pianis, tapi hanyalah seorang anak kecil. Sang pianis pun terkejut, dan bergegas naik ke atas panggung. Melihat anak tersebut, sang pianis tidak menjadi marah, ia tersenyum. Ia berkata, "Teruslah bermain". Sang anak meneruskan permainannya.
Sang pianis lalu duduk di samping anak itu dan mulai bermain mengimbangi permainan anak itu. Ia mengisi semua kelemahan permainan anak itu dan akhirnya tercipta suatu komposisi permainan yang sangat indah. Bahkan mereka seakan menyatu dalam permainan piano tersebut.
Begitu selesai, seluruh penonton menyambut dengan meriah. Karangan bunga dilemparkan ke tengah panggung. Anak itu menjadi besar kepala. Dalam hati, ia berkata, "Gila, baru belajar piano sebulan saja sudah hebat!" Ia lupa bahwa yang disoraki penonton adalah sang pianis yang duduk di sebelahnya, mengisi semua kekurangannya dan menjadikan permainannya sempurna.
Banyak orang begitu bangga akan pencapaian hasil yang mereka dapatkan. Mereka mengira semua itu hasil karya mereka. Orang lupa bahwa yang ikut bekerja dalam karya itu juga Tuhan. Akibatnya, orang kurang mensyukuri kebaikan Tuhan. Orang memuji dirinya sendiri. Orang menyombongkan dirinya sendiri. Karena itu, orang sering cepat puas dan menepuk dada.
Apa yang mesti dibuat oleh orang beriman, ketika mengalami kesuksesan dalam hidup? Orang beriman mesti semakin merendahkan diri di hadapan Tuhan. Orang beriman mesti belajar dari ilmu padi: makin berisi makin merunduk. Sikap seperti ini akan memudahkan orang untuk tidak menyombongkan diri.
Sebenarnya apa gunanya orang menyombongkan diri? Apakah ada sesuatu yang menambah harga dirinya? Kalau direfleksikan secara lebih mendalam, sebenarnya kesombongan diri itu tidak berarti apa-apa. Dalam kesombongan diri itu justru orang sedang menyembunyikan kekurangan-kekurangan dirinya. Orang merasa seolah-olah sudah hebat. Padahal sebenarnya orang belum memiliki arti apa-apa.
Karena itu, sebagai orang beriman, kita mesti senantiasa merendahkan diri di hadapan Tuhan. Tuhan yang menyediakan dan memberikan apa yang kita butuhkan untuk hidup kita. Kita mesti menyadari hal ini. Apa yang kita miliki itu hanyalah titipan dari Tuhan yang mesti kita kembangkan menjadi sesuatu yang berguna bagi keselamatan banyak orang. Dengan demikian, kita menjadi orang-orang berkenan kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
417
Bagikan
Satu jam sebelum konser dimulai, kursi telah terisi penuh. Sang ayah duduk dan putranya tepat berada di sampingnya. Namun anaknya tidak betah duduk diam terlalu lama. Ia menyelinap pergi. Ketika lampu gedung mulai diredupkan, sang ayah terkejut ketika melihat anaknya berada dekat panggung pertunjukan. Anaknya berjalan menghampiri piano yang akan dimainkan pianis terkenal itu. Didorong oleh rasa ingin tahu, tanpa takut anak tersebut duduk di depan piano. Ia mulai memainkan sebuah lagu sederhana, twinkle-twinkle little star.
Operator lampu sorot, yang mengira konser telah dimulai langsung menyorotkan lampunya ke tengah panggung. Seluruh penonton terkejut, melihat yang berada di panggung bukan sang pianis, tapi hanyalah seorang anak kecil. Sang pianis pun terkejut, dan bergegas naik ke atas panggung. Melihat anak tersebut, sang pianis tidak menjadi marah, ia tersenyum. Ia berkata, "Teruslah bermain". Sang anak meneruskan permainannya.
Sang pianis lalu duduk di samping anak itu dan mulai bermain mengimbangi permainan anak itu. Ia mengisi semua kelemahan permainan anak itu dan akhirnya tercipta suatu komposisi permainan yang sangat indah. Bahkan mereka seakan menyatu dalam permainan piano tersebut.
Begitu selesai, seluruh penonton menyambut dengan meriah. Karangan bunga dilemparkan ke tengah panggung. Anak itu menjadi besar kepala. Dalam hati, ia berkata, "Gila, baru belajar piano sebulan saja sudah hebat!" Ia lupa bahwa yang disoraki penonton adalah sang pianis yang duduk di sebelahnya, mengisi semua kekurangannya dan menjadikan permainannya sempurna.
Banyak orang begitu bangga akan pencapaian hasil yang mereka dapatkan. Mereka mengira semua itu hasil karya mereka. Orang lupa bahwa yang ikut bekerja dalam karya itu juga Tuhan. Akibatnya, orang kurang mensyukuri kebaikan Tuhan. Orang memuji dirinya sendiri. Orang menyombongkan dirinya sendiri. Karena itu, orang sering cepat puas dan menepuk dada.
Apa yang mesti dibuat oleh orang beriman, ketika mengalami kesuksesan dalam hidup? Orang beriman mesti semakin merendahkan diri di hadapan Tuhan. Orang beriman mesti belajar dari ilmu padi: makin berisi makin merunduk. Sikap seperti ini akan memudahkan orang untuk tidak menyombongkan diri.
Sebenarnya apa gunanya orang menyombongkan diri? Apakah ada sesuatu yang menambah harga dirinya? Kalau direfleksikan secara lebih mendalam, sebenarnya kesombongan diri itu tidak berarti apa-apa. Dalam kesombongan diri itu justru orang sedang menyembunyikan kekurangan-kekurangan dirinya. Orang merasa seolah-olah sudah hebat. Padahal sebenarnya orang belum memiliki arti apa-apa.
Karena itu, sebagai orang beriman, kita mesti senantiasa merendahkan diri di hadapan Tuhan. Tuhan yang menyediakan dan memberikan apa yang kita butuhkan untuk hidup kita. Kita mesti menyadari hal ini. Apa yang kita miliki itu hanyalah titipan dari Tuhan yang mesti kita kembangkan menjadi sesuatu yang berguna bagi keselamatan banyak orang. Dengan demikian, kita menjadi orang-orang berkenan kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
417
Bagikan
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.