Pernahkah Anda membaca buku The Ancient Mariner? Kalau Anda pernah membacanya, pasti Anda akan mengatakan bahwa buku ini merupakan salah satu novel dengan imajinasi paling aneh yang pernah dikarang. Apalagi ketika Anda baca pada bagian ketika pelaut kuno itu mewakili mayat semua orang mati yang hidup kembali untuk mengendalikan kapal. Ada mayat yang menarik tali, memegang kemudi, atau membentangkan layar. Betapa anehnya gagasan ini.
Bicara tentang mayat sebenarnya bicara tentang situasi sekitar kebisuan. Mayat mewakili kebisuan atau kekuan. Mayat itu tak bergerak. Kaku. Dingin. Kalau orang tidak punya inisiatif sama sekali akan dikatakan seperti mayat. Orang hidup, tetapi tidak punya gairah. Orang kehabisan akal untuk menjalani hidup ini.
Kalau suatu suasana dalam kehidupan bersama mengalami kebekuan, suasana seperti itu mencerminkan sesuatu yang dingin. Relasi menjadi kaku. Tidak bermakna sama sekali. Ada orang-orang yang hidup. Tetapi mereka tidak saling menghidupi. Mereka tidak saling menyapa dengan senyum yang terbuka lebar. Mereka kuatir dengan diri mereka sendiri. Mereka hanya berusaha untuk keselamatan diri mereka sendiri.
Sahabat, mungkin Anda pernah mengalami suasana seperti ini. Anda mungkin merasa aneh, mengapa suasana yang beku justru terjadi dalam hidup Anda. Mengapa suasana yang kurang menyenangkan itu menghantui diri Anda? Anda terus-menerus bertanya. Namun Anda sendiri belum tentu berani untuk memecah kebekuan itu. Anda tidak berani mengubah situasi seperti itu, karena Anda merasa enggan.
Situasi yang beku dalam hidup kita sering menjadi penghalang bagi kita untuk menghasilkan sesuatu yang berguna. Tidak ada kreativitas. Kalau orang beragama, orang hanya menjalankan agamanya sebagai suatu kewajiban. Yang penting beribadat. Yang penting berdoa ketika harus berdoa. Orang tidak peduli bahwa hidup beragama itu mesti berbuah kebaikan bagi kehidupan bersama.
Tentang orang seperti ini, Santo Paulus mengatakan bahwa orang seperti ini secara lahiriah menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya.
Karena itu, tugas umat beriman adalah menghidupi iman itu dalam perjalanan hidup sehari-hari. Iman mesti berbuah kebaikan bagi diri sendiri dan sesama. Iman yang sungguh-sungguh hidup itu tidak dijalankan hanya karena kewajiban. Orang beriman mesti berani mengubah situasi yang beku menjadi cair dan enak untuk semua orang.
Buah-buah iman itu mesti tampak dalam perbuatan-perbuatan baik. Orang yang memiliki iman yang sejati itu biasanya mengasihi pula sesamanya. Orang seperti ini biasanya peduli terhadap sesamanya. Orang seperti ini tidak membius sesamanya dengan janji-janji yang muluk-muluk. Orang seperti ini menghadirkan Tuhan yang hidup dalam perjalanan hidupnya.
Mari kita membawa Tuhan yang hidup kepada sesama kita. Kita hadirkan Tuhan yang baik itu kepada sesama kita. Dengan demikian, hidup beriman kita berbuahkan kebaikan dan damai dalam hidup bersama. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
816
Bicara tentang mayat sebenarnya bicara tentang situasi sekitar kebisuan. Mayat mewakili kebisuan atau kekuan. Mayat itu tak bergerak. Kaku. Dingin. Kalau orang tidak punya inisiatif sama sekali akan dikatakan seperti mayat. Orang hidup, tetapi tidak punya gairah. Orang kehabisan akal untuk menjalani hidup ini.
Kalau suatu suasana dalam kehidupan bersama mengalami kebekuan, suasana seperti itu mencerminkan sesuatu yang dingin. Relasi menjadi kaku. Tidak bermakna sama sekali. Ada orang-orang yang hidup. Tetapi mereka tidak saling menghidupi. Mereka tidak saling menyapa dengan senyum yang terbuka lebar. Mereka kuatir dengan diri mereka sendiri. Mereka hanya berusaha untuk keselamatan diri mereka sendiri.
Sahabat, mungkin Anda pernah mengalami suasana seperti ini. Anda mungkin merasa aneh, mengapa suasana yang beku justru terjadi dalam hidup Anda. Mengapa suasana yang kurang menyenangkan itu menghantui diri Anda? Anda terus-menerus bertanya. Namun Anda sendiri belum tentu berani untuk memecah kebekuan itu. Anda tidak berani mengubah situasi seperti itu, karena Anda merasa enggan.
Situasi yang beku dalam hidup kita sering menjadi penghalang bagi kita untuk menghasilkan sesuatu yang berguna. Tidak ada kreativitas. Kalau orang beragama, orang hanya menjalankan agamanya sebagai suatu kewajiban. Yang penting beribadat. Yang penting berdoa ketika harus berdoa. Orang tidak peduli bahwa hidup beragama itu mesti berbuah kebaikan bagi kehidupan bersama.
Tentang orang seperti ini, Santo Paulus mengatakan bahwa orang seperti ini secara lahiriah menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya.
Karena itu, tugas umat beriman adalah menghidupi iman itu dalam perjalanan hidup sehari-hari. Iman mesti berbuah kebaikan bagi diri sendiri dan sesama. Iman yang sungguh-sungguh hidup itu tidak dijalankan hanya karena kewajiban. Orang beriman mesti berani mengubah situasi yang beku menjadi cair dan enak untuk semua orang.
Buah-buah iman itu mesti tampak dalam perbuatan-perbuatan baik. Orang yang memiliki iman yang sejati itu biasanya mengasihi pula sesamanya. Orang seperti ini biasanya peduli terhadap sesamanya. Orang seperti ini tidak membius sesamanya dengan janji-janji yang muluk-muluk. Orang seperti ini menghadirkan Tuhan yang hidup dalam perjalanan hidupnya.
Mari kita membawa Tuhan yang hidup kepada sesama kita. Kita hadirkan Tuhan yang baik itu kepada sesama kita. Dengan demikian, hidup beriman kita berbuahkan kebaikan dan damai dalam hidup bersama. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
816
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.