Pages

27 Juli 2010

Memberi Kesempatan untuk Mengalami Kasih Tuhan

Suatu hari seorang bapak menghukum anaknya dengan sangat sadis. Ia mengikat kedua tangan anaknya itu dengan plastik. Lantas ia membakar plastik itu. Anaknya menjerit ketakutan. Air mata membasahi wajahnya yang hitam manis itu. Ia melompat-lompat untuk melepaskan diri dari rasa sakit yang sangat mendalam. Namun sang ayah tidak peduli. Dengan wajah yang seram, ia bahkan menampar pipi anak gadisnya itu.

Dengan kasar ia berkata, “Orang yang mencuri harus dihukum dengan keras. Bahkan harus dipotong tangannya. Tidak boleh menangis. Kamu harus menanggung akibat perbuatanmu sendiri.”

Berkali-kali anak itu berteriak memohon ampun. Ia menjerit kesakitan. Tetapi tiada satu kata maaf pun keluar dari mulut sang ayah yang begitu dicintainya itu. Begitu plastik itu putus, karena terbakar api, anak itu langsung mencari air untuk mencelupkan tangannya. Ia berhasil. Namun tangannya terluka oleh api. Ia sangat menderita. Ia menjadi lemas melihat dua jari di tangan kanannya yang tidak bisa digerakkannya.

Sambil menangis, ia berkata, “Tuhan, kenapa semua ini mesti terjadi atas diri saya? Saya memang bersalah telah mencuri di warung tetangga. Tetapi kenapa tidak ada ampun sedikit pun buatku?”

Kisah nyata ini merupakan kisah tragis anak manusia. Manusia diberi kemampuan untuk berpikir. Namun manusia lebih dikuasai oleh emosi seaat. Manusia salah membuat suatu pendekatan terhadap suatu perbuatan. Mungkin orang kalap, karena tidak ingin kehilangan muka. Orang tidak mau malu.

Balas dendam menjadi andalan dalam hidup. Kalau situasi ini selalu terjadi dalam hidup manusia, dunia ini akan menjadi suatu medan pertarungan tanpa henti. Yang tumbuh dan berkembang dalam hidup adalah rasa benci dan dendam.

Semestinya sang bapak lebih menahan dirinya. Semestinya ia mampu mengarahkan anak gadisnya untuk bertobat. Semestinya ia dapat menerima kenyataan atas apa yang telah terjadi. Beranjak dari sikap menerima itu, ia dapat membawa anak gadisnya itu ke arah yang lebih baik. Yang telah ia lakukan itu justru hanya meninggalkan trauma yang mengganggu pertumbuhan sang anak. Setiap kali ia mengingat peristiwa itu, ia akan merasakan suatu kepahitan dalam dirinya. Ia merasa rendah diri. Ia tidak dapat bertumbuh dan berkembang secara maksimal dalam hidupnya.

Berhadapan dengan situasi seperti ini, apa yang mesti dilakukan oleh orang beriman? Orang beriman mesti berani mengambil langkah untuk mengampuni sesama yang berbuat salah. Dengan mengampuni, kita menerima kembali orang itu ke dalam hati dan budi kita. Kita memberi kesempatan kepadanya untuk dapat mengalami kasih Tuhan dalam hidupnya. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih bermakna. Hidup ini menjadi sukacita dan damai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

451

Bagikan

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.